MERDEKABICARA.COM | ACEH UTARA – Kesibukan terlihat seperti biasa di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Krueng Geukuh, Aceh Utara, Kamis (2/1/2020). Beberapa karyawan berseragam biru dengan logo PT PIM terbordir di dada, terlihat hilir mudik di areal perkantoran yang rindang dengan pepohonan. Kendaraan keluar masuk melalui gerbang bagian timur yang merupakan jalur keluar masuk menuju perkantoran. Petugas sekuriti memeriksa dengan cermat setiap kendaraan yang keluar masuk.
Tapi situasi berbeda terlihat di gerbang bagian barat. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sana. Tidak ada truk parkir dan memuat pupuk. Tidak ada truk keluar masuk. Tempat itu sepi bagai kuburan. Tidak ada suara apa pun yang menandakan ada kegiatan di pabrik. Angin awal tahun 2020 bertiup kencang, tetapi aroma amonia tidak tercium meski samar.
PT PIM memang sedang tidak berproduksi sejak 12 Desember 2019 lalu. Ini sudah menjadi kendala rutin yang dialami perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Produksi urea terkendala pasokan gas yang menjadi bahan baku utama, meski terhentinya produksi kali ini lebih kepada masalah teknis daripada pasokan sebagaimana yang dijelaskan Direktur Utama PT PIM, Husni Achmad Zaki di Krueng Geukuh, 2 Januari 2020 lalu. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai skema disiapkan untuk memastikan produksi pupuk secara berkesinambungan. Tapi nyatanya, PT PIM harus “Senin-Kamis” saban tahun. Awal tahun 2020 pun, PIM masih terbelit masalah serupa.
Sepanjang 2019, PT PIM memproksi urea sebanyak 337.863 ton dan 216.112 ton amonia. Meski pasokan gas tidak lancar, kinerja perusahaan terbilang bagus karena target produksi dan realisasi penyaluran pupuk hampir 100 persen. Untuk diketahui, PT PIM yang terletak di pinggir Jalan Medan – Banda Aceh, Krueng Geukuh, bertanggung jawab menyalurkan pupuk bersubsidi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi. Untuk tahun 2019 lalu, PT PIM menyalurkan pupuk bersubsidi sebanyak 265.465 ton atau 98 persen dari alokasi 271.331 ton.
Jadi, aneh sebenarnya kalau ada keluhan kekurangan pupuk bersubsidi di Aceh. Menurut Zaki—sapaan akrabnya—PT PIM memproduksi pupuk bersubsidi sejumlah kebutuhan yang mereka terima dari Kementerian Pertanian. Soal dugaan ada penyelewengan di lapangan, Zaki menjelaskan sudah ada mekanisme kontrol dari pihak Dinas Pertanian, kepolisian, dan kejaksaan. Selain itu, masyarakat dan media massa juga bisa ikut mengontrol untuk memastikan pupuk bersubsidi diterima kepada petani yang mempunyai lahan kurang dari 2 hektar.
Menurut Zaki, mekanisme kontrol sekarang lebih murah karena pupuk bersubsidi bewarna pink, sedangkan untuk pupuk komersial berwarna putih seperti biasa. Dengan kemudahan membedakan, akan lebih mudah dikontrol. “Saya belum mendapat laporan adanya pupuk subsidi digunakan untuk industri. Kalau ada, silakan laporkan,” tegas Zaki.
Kembali ke masalah bahan baku. Pasokan gas sepanjang 2019 yang bersumber dari Pertamina Hulu Energi NSB-NSO mengalami penurunan sejak Mei 2019 dari 54 Million Standard Cubic Feet per Day (MMCFD) menjadi 30 MMCFD sehingga PIM harus membeli gas alam cair (LNG) dengan harga pasar yang berdampak pada naiknya harga pokok produksi. “Pada Januari 2020, perjanjian jual beli gas dengan PTGN (Pertagas Niaga) atas gas di Blok A bisa direalisasikan,” harap Zaki.
Masalah kekurangan pupuk subsidi termasuk di Aceh ketika musim tanam, menurut Zaki juga dikeluhkan gubernur lain dalam beberapa rapat koordinasi. Untuk itu, dia mengharapkan adanya kordinasi antara pemerintah provinsi dengan Kementerian Pertanian mengenai jumlah alokasi pupuk subsidi di setiap daerah.
Untuk jangka panjang, secara perlahan PT PIM akan meninggalkan pupuk urea karena bahan baku yang semakin mahal dan sulit diperoleh, selain karena daya guna urea tak selengkap pupuk NPK yang dikenal juga sebagai pupuk majemuk. Pembangunan pabrik pupuk NPK di PT PIM yang telah dimulai pada Maret 2019 saat ini sudah mencapai 16 persen dan ditargetkan selesai pada semester kedua tahun 2021 mendatang.
PT PIM melakukan berbagai upaya agar tetap bisa mendapatkan profit sekaligus ikut mendukung kedaulatan pangan, dan itu bukan hanya dalam produksi pupuk. Di bagian produksi pupuk, PT PIM akan menyesuaikan produksi dengan kebutuhan pasar, seperti rencana produksi pupuk komersial dengan kemasan yang lebih kecil sehingga harganya terjangkau.
Selain itu, sejak awal 2019 lalu PT PIM sudah mengakuisisi PT Asean Aceh Fertilizer. Untuk lahan perumahan telah dibuat layout plan terhadap kosong dengan skema jual putus dan kerja sama. Sedangkan lahan industri akan dikomersialisasi aset baik untuk perusahaan lokal maupun internasional. Bekas lahan PT AAF di Krueng Geukuh, misalnya, PT Korina Refinery Aceh telah melakukan perjanjian sewa lahan selama 20 tahun. Di lokasi tersebut, nantinya akan dibangun pabrik oil refinery. Sedangkan untuk pabrik hidrogren peroksida akan disewa PT Sinergi Peroksida dengan masa sewa 12 tahun.
PT PIM juga sudah melakukan pemisahan (spin off) rumah sakit dalam Komplek Perumahan PT PIM menjadi PT Prima Inti Medika yang bertipe D dan telah melayani fasilitas BPJS dengan standar pengobatan yang lebh baik. “Kita harapkan dengan adanya tambahan fasilitas ini, karyawan dan masyarakat tidak perlu lagi berobat ke Medan atau ke Penang,” tambah Zaki lagi.
Untuk bidang tanggung jawab sosial atau CSR, PT PIM tetap berfokus pada pendidikan dengan memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi dan siswa tak mampu di lingkungan perusahaan dan di Sekolah Menengah Tinggi Industri Banda Aceh senilai Rp1,1 miliar sepanjang 2019. Kemudian membangun rumah sehat sederhana senilai Rp7,9 miliar, di samping meningkatkan kepedulian kepada pengembangan usaha mikro kecil dan menengah di berbagai sektor usaha, baik langsung maupun tidak langsung.
Bagaimana kepastian produksi pupuk sepananjan 2020 nanti? Dengan adanya kejelasan kontrak pembelian, Zaki berharap PT PIM bisa berproduksi secara lancar dan maksimal. Perusahaan itu ditargetkan bisa berproduksi kembali pada 15 Januari mendatang. Namun, selama ini sudah sering target produksi tersendat karena masalah bahan baku, meski Aceh termasuk daerah penghasil gas dan kontrak pembelian bahan baku sudah ada di atas kertas. Jadi, ketidakpastian masih tetap membayangi meski tidak sekuat aroma amonia yang tercium di komplek pabrik PIM.(Ayi Jufridar)