MerdekaBicara.com – Lhokseumawe | Sebuah perusahaan industri sawit yang beroperasi di Aceh Utara, berinisial PT IBAS, diduga telah merambah kawasan hutan lindung untuk membuka kebun sawit. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga ditengarai beroperasi tanpa mengantongi izin usaha perkebunan (IUP-B) maupun Hak Guna Usaha (HGU).
Dugaan pelanggaran tersebut terungkap dalam acara Diseminasi Hasil Investigasi “Menyibak Jejak Perusahaan Sawit di Kawasan Hutan Lindung” yang digelar oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) di Lhokseumawe, Selasa, 30 September 2025.
Koordinator MaTA, Alfian Husen, dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi lapangan secara langsung ke lokasi kebun sawit milik PT IBAS, tepatnya di Dusun Sarah Raja dan Alur Sepui, Gampong Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara.
“Kami turun langsung ke lapangan, melakukan dokumentasi dan wawancara dengan masyarakat serta perangkat desa setempat. Kami juga mengumpulkan bukti berupa foto, peta, dan surat-surat dari pihak terkait,” jelas Alfian.
Beroperasi Tanpa Izin, Terima Surat Peringatan
Dalam pertemuan tersebut, MaTA membeberkan adanya surat resmi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Aceh, bernomor 522/294 Tahun 2024, yang ditujukan kepada PT IBAS. Surat itu berisi permintaan agar perusahaan menghentikan seluruh aktivitas pembukaan lahan sawit di dalam kawasan Hutan Lindung Lauser, tepatnya di Gampong Leubok Pusaka.
MaTA juga menyebutkan bahwa surat peringatan serupa telah pernah dikirim sebelumnya. Namun, indikasi aktivitas ilegal perusahaan tetap berlanjut.
“Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa PT IBAS hanya memiliki izin Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton per jam. Namun, mereka tidak memiliki IUP-B maupun HGU, yang seharusnya menjadi syarat utama membuka kebun sawit,” tambah Alfian.
Plasma Sawit di Kawasan Terlarang
Temuan lain yang mencuat adalah keberadaan kebun plasma sawit yang juga berada dalam kawasan hutan lindung. Meski kerap berdalih sebagai kebun masyarakat binaan, MaTA menekankan bahwa lokasi kebun tetap berada di zona yang secara hukum dilindungi.
Kondisi ini dinilai sebagai bentuk pembiaran dan potensi pelanggaran serius terhadap peraturan kehutanan dan agraria.
Desakan Penegakan Hukum
Acara diseminasi tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Aceh Utara, Dinas Penanaman Modal dan PTSP, akademisi, anggota DPRK, serta insan pers.
MaTA menegaskan, hasil investigasi ini disampaikan sebagai bentuk dorongan agar pemerintah dan aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Selain itu, data yang dihimpun diharapkan dapat menjadi rujukan untuk perumusan kebijakan kehutanan dan perkebunan yang lebih transparan dan berkelanjutan.[*]
*nh