MERDEKABICARA.COM | JAKARTA – Pemerintah Aceh bersama Diaspora Global Aceh akan menyelenggarakan International Conference on Peace – Lessons Learned from 20 Years of Aceh Peace pada Rabu, 20 Agustus 2025 di Auditorium Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, serta dapat diikuti secara hybrid melalui platform Zoom.
Konferensi ini digelar dalam rangka memperingati 20 tahun Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). MoU tersebut mengakhiri konflik bersenjata yang berlangsung selama tiga dekade di Aceh, sekaligus menjadi tonggak perdamaian yang kini telah memasuki dua dekade.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menegaskan pentingnya momentum ini sebagai ruang refleksi dan konsolidasi perdamaian.
> “MoU Helsinki adalah landasan yang membawa Aceh keluar dari konflik menuju perdamaian. Dua dekade kemudian, kita harus memastikan perdamaian ini berlanjut, memberi manfaat nyata bagi masyarakat, sekaligus menjadi inspirasi global,” ujarnya.
Lebih dari 130 tokoh masyarakat Aceh akan hadir dalam konferensi ini, termasuk akademisi, diplomat, purnawirawan TNI/Polri, politisi, serta diaspora Aceh. Nama-nama yang diundang antara lain Sofyan Djalil, Fachrul Razi, Abdullah Puteh, dan Rizal Sukma.
Ketua Umum Diaspora Global Aceh, Dr. Mustafa Abubakar, menambahkan bahwa konferensi ini tidak hanya untuk mengenang perjalanan perdamaian, tetapi juga membahas tantangan ke depan.
“MoU Helsinki adalah contoh nyata bahwa konflik dapat diselesaikan melalui dialog. Dua puluh tahun damai Aceh adalah warisan berharga, sekaligus pembelajaran bagi dunia,” tegasnya.
DR. Surya Dharma, Tokoh Aceh di Jakarta nyatakan: “Dengan mengusung tema “Lessons Learned from 20 Years of Aceh Peace”, konferensi ini diharapkan mampu menghasilkan rekomendasi strategis bagi penguatan perdamaian Aceh, serta memberikan inspirasi bagi upaya penyelesaian konflik di kawasan lain di dunia.”
Sementara itu, pengajar program studi ilmu politik FISIP Universitas Malikussaleh, TgK. Rizwan Haji Ali menyebutkan, padatnya even lokal, nasional dan internasional tentang isu perdamaian pada tahun 2025 menunjukkan kuatnya harapan masyarakat Aceh, nasional dan internasional terhadap kepemimpinan Mualem.
Isu perdamaian sempat menjadi isu pinggiran selama hampir satu dekade terakhir. Tidak masuk dalam agenda utama pemerintah Aceh, Jakarta dan pihak internasional. Tahun 2025, kondisinya berubah. Konfigurasi politik mempengaruhi pengarusutamaan isu.
Tahun 2025, Mualem mengembalikan isu ini ke panggung utama. Sebuah arus yang penuh harapan. Tantangan utama yang kemudian dihadapi adalah ketika isu perdamaian tidak lagi dilihat dalam formula unistruktural, yaitu absennya perang, tetapi sudah disandingkan dengan isu kesejahteraan secara multistruktural.
Bahkan kini, taksonomi perdamaian sudah secara ketat diikat dengan isu kesejahteraan. Sehingga indikator keberhasilan perdamaian dianggap berkembang jika disertai dengan kesejahteraan. Keduanya dilihat sebagai sebuah relasi simbiotik. Bahkan mungkin dalam relasi integralistik, di mana perdamaian dan kesejahteraan adalah sebuah paket yang tidak terpisahkan, bukan hanya relasi simbiotik.
Kembalinya isu ini ke panggung utama politik Aceh harus diakui karena faktor Mualem. Tetapi pekerjaan utama Mualem saat ini adalah memaketkan perdamaian dan kesejahteraan sebagai sebuah relasi integralistik. Dua saudara kembar yang tidak terpisahkan. {}