MERDEKABICARA.COM | JAKARTA – Selama 42 tahun pelaksanaan pengelolaan kegiatan pertambangan untuk menghasilkan produk ingot logam diatur melalui Undang Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan menghadirkan investasi pada kegiatan pertambangan yang mengolah dan memurnikan logam seperti PT Inco, PT FI, dan PT Kobatin, PT Timah, PT Antam dan Kontrak Karya lainnya.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) hadir merealisasikan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral. Tahun ini menginjak perjalanan tahun ke-sepuluh kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam wujud pelarangan ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan.
Empat tahun sejak diimplementasikan, beleid tersebut digugat di Mahkamah Konstitusi dan WTO, namun atas dasar pengelolaan mineral agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi sampai hari ini ketentuan kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan dalam UU Minerba masih tetap berdiri kokoh.
Pelaksanaan UU Minerba bukan tanpa prestasi, sejak diselesaikannya ketentuan turunan pada tahun 2012, fasilitas pengolahan dan pemurnian berdiri dengan pesat bahkan untuk nikel dalam 5 tahun terakhir telah menjadikan Indonesia “from supporting player to lead actor” (Macquarie, 2018).
Pada Tahun 2012 Indonesia hanya mempunyai 3 fasilitas pemurnian yaitu 1 tembaga dan 2 Nikel namun pada tahun 2018 telah beroperasi 16 fasilitas pemurnian atau sering disebut dengan istilah smelter. Direncanakan akan selesai terbangun 25 smelter pada tahun 2020 dan terus tumbuh sehingga pada tahun 2022 akan terdapat 4 smelter tembaga, 41 smelter nikel, 11 smelter bauksit dan secara total mencapai 68 smelter.
Keberhasilan UU Minerba dalam menjalankan amanat peningkatan nilai tambah telah mampu menyediakan bahan baku industri logam dasar (base metals), sebut saja komoditas nikel telah mampu memurnikan 25 juta bijih nikel di dalam negeri untuk menghasilkan 3 juta ton FeNi atau NPI (kadar 10%Ni) atau setara 319.200 ton logam Ni, namun sayang seluruh bahan baku setengah jadi tersebut belum dapat diserap oleh industri yang lebih hilir.
Sebagai contoh lain ingot Timah dan katoda Tembaga belum mampu diserap oleh industri dalam negeri sehingga hampir sebagaian besar harus di jual ke luar negeri. Penyediaan bahan baku dalam bentuk produk setengah jadi oleh sektor hulu tidak mampu diserap oleh industri hilir seperti yang direncanakan.
Kesinambungan sektor hulu dan hilir merupakan kunci suksesnya hilirisasi mineral di dalam negeri sehingga Indonesia dapat mendapatkan manfaat yang optimal dari peningkatan nilai tambah, karena sebenarnya peningkatan nilai tambah yang beratus kali lipat itu ada di sektor hilir yang memproduksi produk jadi.
Hilirisasi di sektor hulu adalah langkah permulaan yang peningkatannya belum signifikan akan tetapi harus dilakukan karena tidak mungkin kemandirian mineral terjadi tanpa ada penyediaan bahan baku di sektor hulu. UU Minerba mempunyai peran dalam menyediakan bahan baku dan dalam 10 tahun perjalanannya sudah selesai menyediakan bahan baku dari seluruh rantai industri hilir yang berasal dari kegiatan pertambangan di dalam negeri.