MERDEKABICARA.COM | JAKARTA – Berkurangnya angka kemiskinan disertai menurunnya tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat ketimpangan yang diukur melalui rasio gini turun 0,007 poin menjadi 0,382 pada Maret 2019 dibandingkan periode sama tahun lalu.
Tingkat ketimpangan di daerah perdesaan mengalami penurunan. Rasio gini per Maret 2019 tercatat sebesar 0,317, lebih rendah dibandingkan Maret 2018 ataupun September 2018. Hal berbeda terjadi di daerah perkotaan. Tingkat ketimpangan tercatat sebesar 0,392 pada Maret 2019, naik dibandingkan September 2018 yang sebesar 0,391. Namun, ada penurunan jika dibandingkan Maret 2018.
Ukuran rasio gini berada pada rentang 0-1. Rasio gini nol menunjukkan bahwa pendapatan merata sempurna. Setiap orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Sementara itu, rasio gini di angka satu artinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengklaim, berkurangnya tingkat ketimpangan dan kemiskinan di perdesaan salah satunya berkat Dana Desa. Setiap tahun, pemerintah menggelontorkan puluhan triliun Dana Desa.
“Penyaluran Dana Desa selama empat tahun terakhir memberikan hasil nyata, mulai dari peningkatan infrastruktur perdesaan, pengurangan jumlah anak dengan stunting, hingga berujung pada penurunan angka kemiskinan,” kata Eko seusai mengikuti rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Eko mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis penurunan jumlah penduduk miskin di desa lebih tinggi ketimbang kota. Dalam rilis BPS teranyar disebutkan, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 6,69 persen pada Maret 2019, turun dari 6,89 persen pada September 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10 persen, turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019.
Dibandingkan September 2018, jumlah penduduk miskin Maret 2019 di daerah perkotaan turun sebanyak 136.500 orang, yakni dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019. Sedangkan penduduk miskin di daerah perdesaan turun sebanyak 393.400 orang, yakni dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019.
Eko mengatakan, pemerintah akan meningkatkan fungsi Dana Desa untuk terus mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Sesuai pesan Presiden Joko Widodo, menurut Eko, prioritas Dana Desa pada 2019-2024 akan lebih banyak menyasar pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.
Hal ini tentu sedikit bergeser dibandingkan fokus pemanfaatan Dana Desa pada 2015-2019 yang lebih banyak pada pembangunan infrastruktur desa. “Beliau (Presiden) minta prioritasnya lebih ke pemberdayaan ekonomi. Kan banyak Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) yang berhasil, yang bayar pajaknya lebih besar dari Dana Desanya dan ini jadi pemberdayaan SDM,” kata Eko.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, anggaran Dana Desa dialokasikan sebesar Rp 75 triliun. Jumlah tersebut naik 7,14 persen dibandingkan alokasi pada tahun ini sebesar Rp 70 triliun.
Sesuai dengan janji kampanye Jokowi, ia akan mengalokasikan anggaran Dana Desa hingga Rp 400 triliun selama lima tahun hingga akhir periode kedua kepemimpinannya. Angka tersebut naik tajam ketimbang alokasi anggaran dana pada 2015-2019 sebesar Rp 257 triliun. “Ada (kenaikan), jadi Rp 75 triliun dari Rp 70 triliun,” kata Eko.
Dana Desa telah dikucurkan sejak 2014. Saat itu, jumlahnya hanya sekitar Rp 20 triliun. Dana Desa secara bertahap dinaikkan hingga akhirnya menyentuh Rp 70 triliun.
Upaya keras
Merujuk data BPS, rasio gini di perdesaan cenderung turun setelah adanya Dana Desa. Pada Maret 2015, misalnya, rasio gini tercatat sebesar 0,334 atau lebih rendah dibandingkan September 2014 yang sebesar 0,336.
Penurunan konsisten terjadi hingga September 2016 yang tercatat sebesar 0,316. Sempat naik pada Maret dan September 2017 yang sebesar 0,320 dan Maret 2018 pada level 0,324, rasio gini turun lagi menjadi 0,319 pada September 2018 dan terakhir menjadi 0,317 per Maret 2019.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, rasio gini merupakan ukuran jangka panjang terhadap kondisi ketimpangan masyarakat di Indonesia dari segi pengeluaran. Semakin hari, upaya untuk menurunkan ketimpangan akan semakin sulit dan membutuhkan upaya yang lebih keras.
“Untuk menurunkan rasio gini, upaya yang luar biasa dan butuh waktu yang agak panjang. Tapi, dari sini kita bisa melihat progres yang menggembirakan,” kata Suhariyanto dalam paparannya di kantor BPS, Jakarta, Senin (15/7).
Suhariyanto menyampaikan, selain rasio gini, ukuran untuk mengukur ketimpangan menurut Bank Dunia, yakni melalui tingkat persentase pengeluaran pada 40 persen golongan masyarakat lapisan terbawah. Ketimpangan akan tinggi jika pengeluaran kelompok masyarakat tersebut di bawah 12 persen. Selanjutnya, ketimpangan dikategorikan sedang jika pengeluaran antara 12-17 persen serta ketimpangan dapat disebut rendah jika pengeluaran masyarakat di atas 17 persen.
“Pada bulan Maret 2019, tingkat pengeluaran kelompok 40 persen terbawah sebesar 17,71 persen. Artinya, tingkat ketimpangan itu rendah,” ujar Suhariyanto.
Ia menyebut, hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah disparitas rasio gini antarprovinsi ataupun antarkabupaten dan kota yang masih lebar. BPS mencatat, rasio gini tertinggi tercatat ada di Provinsi Yogyakarta sebesar 0,423 poin. Sedangkan rasio gini terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung yang hanya 0,269 poin.
“Tentu ke depan, kita berharap penurunan kemiskinan dan rasio gini serta disparitas antardaerah akan jauh lebih cepat. Terutama dengan menjaga stabilitas pangan karena itu besar pengaruhnya pada kemiskinan,” ujar dia.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir menilai, banyak faktor yang memberikan pengaruh terhadap penurunan rasio gini. Salah satunya adalah keberhasilan program sinergitas antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam pengendalian inflasi, khususnya ketika memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran yang memiliki potensi besar terjadinya peningkatan inflasi.
Iskandar mengatakan, mempertahankan inflasi dilakukan di tingkat pemerintah pusat ataupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Poin yang menjadi prioritas pemerintah adalah inflasi volatile food yang diketahui kerap menjadi faktor utama pendorong inflasi. “Kelompok ini dapat terjaga kondisinya kemarin,\” ujarnya ketika dihubungi Republika.
Di sisi lain, Iskandar menambahkan, pemerintah bersama pemangku kepentingan lain mampu mempertahankan daya beli masyarakat 40 persen terbawah. Kondisi ini didorong oleh pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial yang dapat meningkatkan daya beli penduduk miskin dan hampir miskin.
Pemerintah berkomitmen melanjutkan kedua program sosial tersebut. Iskandar menjelaskan, hal ini seiring dengan upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi sehingga mengurangi pengangguran di kelompok bawah dan menurunkan tingkat kemiskinan. “Dampak berikutnya, tingkat ketimpangan juga bisa semakin membaik,” katanya. n sapto andika candra/ adinda pryanka/ dedy darmawan nasution ed: satria kartika yudha
Sumber : Republika.co.id