MERDEKABICARA.COM | Amran, warga Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, tampak kesal saat menceritakan dampak tambang emas ilegal yang merusak sungai di kampungnya.
Kerusakan mulai terjadi setelah konflik bersenjata di Aceh, antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia, berakhir pada 2005. Sejak itu, perusahaan pertambangan mulai mencari peluang mengeruk bumi atas nama investasi, baik itu pertambangan emas, bijih besi, maupun batubara.
Pengusaha dan masyarakat lokal juga tidak tinggal diam. Mereka lebih spesifik mencari butiran emas di sungai, tanpa menggunakan alat tradisional seperti wajan dari kayu/indang. Melainkan, menggunakan alat berat excavator.
Tanah bercampur batu kerikil dikeruk di dalam dan pinggir sungai, lalu dimasukkan ke penyaring yang dialiri air.
“Proses ini butuh banyak air, makanya mereka beroperasi dekat atau di sungai,” ujarnya, Jumat [30/8/2024].
Dampaknya, sungai menjadi dangkal dan air keruh bercampur lumpur. Pepohonan di pinggir sungai juga banyak ditumbangkan. Bahkan, lubang bekas tambang itu dibiarkan saja.
“Sawah dan kebun masyarakat kena imbasnya juga. Saat hujan, lumpur mengalir ke wilayah pertanian mereka. Sudah 10 tahun kami merasakan kondisi ini dan tidak tahu mengadu kepada siapa,” jelasnya.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, menunjukkan luas pertambangan emas ilegal di seluruh Aceh mencapai 6.805 hektar. Persebarannya ada di Kabupaten Aceh Barat [3.300 hektar], Kabupaten Nagan Raya [2.345 hektar], Pidie [752 hektar], Aceh Jaya [300 hektar], Aceh Tengah [67 hektar], Aceh Selatan [32 hektar], dan Aceh Besar [6 hektar].
“Pertambangan emas ilegal ini belum ada perhatian serius dari pemerintah, khususnya penegak hukum,” ungkap Ahmad Shalihin, Direktur Walhi Aceh, Kamis [5/9/2024].
Shalihin menambahkan, lokasi pertambangan tersebut berada di hutan lindung [3.014 hektar], hutan produksi [1.229 hektar], dan area penggunaan lain [2.037 hektar].
“Bahkan, areal pertambangan tersebut ada yang di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL],” paparnya.
Kegiatan liar tersebut telah menghancurkan sungai yang merupakan sumber air bersih dan pertanian masyarakat.
“Pertambangan ini tersebar di sejumlah daerah aliran sungai [DAS], seperti DAS Jambo Aye, Sabe, Kluet, Seunagan, Krueng Aceh, Teunom, Meukek, Tripa, Meureubo, dan Woyla.”
Berawal dari pekerja luar
Pertambangan emas ilegal di Aceh berawal di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, yang kemudian meluas ke Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, lalu Kabupaten Aceh Selatan, hingga ke Nagan Raya.
Para penambang di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie dan Aceh Selatan, awalnya hanya menggali lubang-lubang di perbukitan. Sumur-sumur yang digali tersebut bisa mencapai kedalam 20 hingga 30 meter. Setelah digali vertikal/tegak lurus lalu digali horizontal, mengikuti batu yang mengandung emas.
Untuk memisahkan batuan dengan butiran emas, penambang menggunakan mesin gelondongan. Setelah batu dihancurkan menjadi pasir, lalu digunakan merkuri atau sianida untuk mendapatkan butitan emas itu.
Dari mana para pekerja itu berasal?
“Awalnya didatangkan dari Jawa dan Kalimantan. Mereka digaji berdasarkan hasil yang didapat. Namun, biaya perjalanan dan makan selama bekerja, ditanggung pemodal,” jelas Suryadi, mantan penambang di Kecamatan Krueng Sabee, Senin [26/8/2024].
Asep, pekerja tambang emas ilegal asal Jawa Barat, mengaku sudah dua tahun berada di Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Ada dua cara yang dilakukan untuk mendapatkan emas yaitu mengeruk sungai dan tanah menggunakan excavator, atau memasang pompa sedot di tengah sungai.
“Pompa akan menyedot tanah, lumpur, dan kerikil dari dasar sungai, kemudian dikeluarkan ke tempat penyaringan,” ujarnya, Sabtu [31/8/2024].
Terkait penghasilan, dihitung dari hasil yang didapatkan dari kegiatan tersebut.
“Kalau kami dapat banyak emas, kami akan diberi banyak uang. Kami di sini tidak lapar, karena pemodal membiayai segala kebutuhan,” ujarnya.
Di Kabupaten Nagan Raya, tambang emas ilegal dengan mudah ditemukan di Kecamatan Seunagan, Seunagan Timur, Beutong, dan Kecamatan Darul Makmur.
“Para penambang hanya mengeruk tanah atau sungai menggunakan excavator. Tapi, proses awalnya melibatkan orang dari Jawa dan Kalimantan,” kata Sulaiman, warga Kecamatan Beutong, Nagan Raya, Selasa [28/8/2024].
Sulaiman yang pernah bekerja sebagai penambang mengaku, di Nagan Raya, pertambangan emas ilegal muncul setelah ada kegiatan yang sama di Aceh Barat.
“Kami belajar dari mereka. Setelah paham menggunakan alat penyaring emas, kami lakukan sendiri.”
Setiap minggu, satu alat berat bisa mengumpulkan minimal 30 gram emas.
“Mereka biasanya menjual setiap Jumat,” ujarnya.
Penampung emas Ilegal belum tersentuh hukum
Sulaiman sempat menunjukkan sebuah toko di Pasar Jeuram, Kecamatan Seunagan, Nagan Raya, yang menampung maupun membeli emas dari pertambangan ilegal. Toko tersebut juga membeli emas secara terbuka, namun tidak melayani dalam jumlah besar.
“Mereka seperti mengenal satu sama lain.”
Dari sana, emas disebar ke berbagai daerah, bahkan ke Sumatera Utara.
“Tidak mungkin emas sebanyak itu habis untuk konsumen di Aceh saja,” lanjut Ahmad Shalihin.
Alasannya, meski pembeli emas di Aceh banyak, termasuk untuk mahar pernikahan, namun jika sudah puluhan bahkan ratusan kilogram, tidak mungkin terjual di pasar lokal.
“Harusnya, penegak hukum menindaklanjuti dan memutuskan rantai pasok emas ilegal ini.”
Pertambangan ilegal ini telah menimbulkan banyak masalah di masyarakat, khususnya kerusakan hutan dan lingkungan.
“Jika tidak dihentikan, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta pencemaran air akan semakin sering terjadi di provinsi paling barat Indonesia ini,” ujarnya.
Kenapa pertambangan emas ilegal masih berlangsung di Aceh?
Amran, Sulaiman, Suryadi, dan Shalihin mengatakan, tidak mungkin kegiatan itu berjalan tanpa biaya keamanan.
Di Nagan Raya, ujar Amran, setiap alat berat wajib membayar Rp27 juta setiap bulan, kepada panitia. Sementara di Kabupaten Aceh Barat, jumlahnya Rp30 juta.
“Ada panitia khusus yang tugasnya mengumpulkan uang dari para penambang. Semua masyarakat di sekitar lokasi tahu hal ini,” ujarnya.
Sulaiman menambahkan, di masyarakat beredar kabar, ketika penambang tidak menyetor biaya keamanan maka alat berat dan pekerja akan ditangkap.
“Pemilik tambang ilegal itu orang-orang berpengaruh dan memiliki banyak jaringan. Akan tetapi, mereka tetap menyetor uang keamanan.”
Rusli, pemodal tambang ilegal di Aceh Barat mengatakan, dirinya belum enam bulan terlibat kegiatan ini.
“Bersama dua teman, kami menyewa excavator dan mempekerjakan beberapa orang.”
Dia mengatakan, tambang tanpa izin ini sangat merepotkan. Banyak biaya aneh-aneh yang menguras kantong. Setiap bulan, satu excavator harus dibayar Rp30 juta kepada panitia yang saya tidak tahu siapa membentuknya.”
Jika setoran tidak dibayarkan, ancamannya adalah pekerja dan excavator diamankan.
“Saya sudah tidak sanggup dan tidak mau terlibat lagi,” ujarnya, akhir Agustus 2024.
Ada warga asing di tambang ilegal?
Suryadi, warga Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat, mengatakan penambangan emas menggunakan pompa juga dilakukan warga asing berkebangsaan China.
“Mereka menggunakan kapal dengan mesin pompa,” jelasnya, Minggu [31/8/2024].
Kegiatan itu tidak banyak diketahui warga lokal, termasuk perangkat desa.
“Mereka tidak pernah melapor ke desa. Setahu kami, mereka dibawa perusahaan dengan izin usaha pertambangan [IUP] Koperasi Putra Putri Aceh [KPPA],” ujarnya.
Mulia, Ketua KPPA, kepada Mongabay Indonesia menjelaskan kapal tersebut bukan milik KPPA. Kapal tersebut juga tidak pernah koordinasi dengan mereka.
“Yang kami tahu, kapal keruk emas itu milik orang dari China yang bekerja sama dengan PT Indoasia Mineral Persada,” terangnya, Senin [9/9/2024].
Meski sempat bekerja sama dengan KPPA, perusahaan tersebut tidak bisa menunjukkan legalitas seperti izin usaha jasa pertambangan [IUJP].
“Kami sudah menyurati kapal keruk tersebut agar tidak melakukan kegiatan pertambangan, sampai mereka memenuhi semua aturan yang berlaku. Kami sebagai pemilik IUP tidak mau bermasalah dengan hukum.”
Mulia mengatakan, awalnya perusahaan ini terikat kontrak kerja dengan KPPA sebagai pemegang IUP. Namun, mereka melanggar kesepakatan yaitu bekerja tanpa sepengetahuan KPPA.
“Mereka belum boleh melakukan penambangan. Bahkan Dinas Energi Sumber Daya Mineral [ESDM] Aceh, meminta perusahaan tersebut tidak mengoperasikan kapal pengeruk emas yang sudah dirakit, jika persoalan administrasi belum selesai.”
Namun, perusahaan tetap melakukan pertambangan, bahkan melakukan di luar wilayah IUP milik KPPA.
“Ini kegiatan ilegal. Mereka belum mengantongi izin apapun dan juga mempekerjakan warga asing. Kami telah menegur namun tidak dihiraukan. Kami meminta penegak hukum menertibkannya.”
Mongabay Indonesia telah menghubungi Humas PT Indoasia Mineral Persada, Fitrah Nur Muhammad, terkait kegiatan mereka di Sungai Mas. Namun, hingga tulisan ini diturunkan, Fitrah belum bersedia dikonfirmasi.
“Nanti saja ya Mas,” tulisnya, menjawab pesan melalui aplikasi WhatsApp, Selasa [24/9/2024].
Penegakan hukum
Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum [Gakkum] KLHK Wilayah Sumatera, Hari Novianto, mengakui adanya pertambangan emas illegal di beberapa daerah di Aceh.
“Benar, kami menemukan pertambangan tanpa izin tersebut,” jelasnya, Selasa [10/9/2024].
Kegiatan itu masih terjadi dan merusak hutan lindung.
“Tim beberapa kali ke lapangan dan melakukan penegakan hukum.”
Balai Gakkum terus berkoordinasi dan membangun kesepahaman dengan penegak hukum lain. Termasuk, mencarikan solusi terbaik.
“Kami paham masalah ini harus segera diselesaikan. Dikarenakan persoalan ini cukup masif, kami butuh dukungan semua pihak untuk menindaknya,” tegasnya. {}
Sumber: mongabay dot co dot id