MERDEKABICARA.COM | SUMUT – Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan satwa liar yang dilindungi lainnya berhasi dideteksi keberadaannya oleh Tim survei yang terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Wilayah X Padang Sidempuan, bersama mitra masyarakat dan Conservation International Indonesia (CI Indonesia) di kawasan Hutan produksi Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tim survei memasang kamera perangkap (camera trap) untuk merekam satwa-satwa tersebut dalam periode Januari-Maret 2020 dengan luasan survey sebesar +/- 30.000 Ha.
Satu foto yang diunduh dari kamera memperlihatkan tampak belakang tubuh satwa yang dilindungi tersebut, keberadaannya diperkuat oleh rekaman video yang menampakkan harimau sumatera yang sama melintas secara utuh di depan kamera. Ruang jelajah (home range) satwa ini bisa mencapai luas 500 km persegi atau akan meliputi hampir seluruh hutan di Tapanuli Selatan.
Kepala KPH Wilayah X Zurkarnain Hasibuan menilai hasil survei camera trap itu sangat penting karena informasi keanekaragaman hayati di kawasan itu masih minim dan hasilnya dapat dipakai untuk menyusun rencana pengelolaan. Ia juga akan mensosialisikan hasil survei ini untuk menghindari konflik manusia dan satwa.
“Kami akan mendorong masyarakat memanfaatkan ekosistem hutan, antara lain menanam pohon buah-buahan yang disukai satwa seperti durian, sekaligus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Harimau Sumatera dinyatakan sebagai spesies berstatus kritis atau sangat terancam punah (critically endangered) oleh IUCN, dan saat ini populasinya di alam liar diperkirakan tinggal 600 ekor dan terkonsentrasi terutama di luar kawasan konservasi di Sumatera.
Survei ini menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati berada di luar Kawasan Konservasi. Dalam survei singkat ini ditemukan 5 dari 6 kucing liar sumatera yaitu Harimau Sumatera, macan dahan sumatera, kucing emas asia, kucing batu, dan satwa lain dengan status menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dalam kategori kritis, terancam, dan rentan yaitu lutung hitam sumatera, trenggiling , tapir, beruang madu, rusa sambar, kambing-hutan sumatera, dan beruk. Selain itu penunjang pakan untuk predator paling tinggi seperti harimau sumatera masih banyak tersedia seperti kijang, babi hutan, pelanduk kancil, rusa sambar dan kambing-hutan sumatera.
Hal ini mengindikasikan masih terdapat proses mangsa-pemangsa (rantai makanan) di dalam kawasan hutan produksi. Menurut Direktur Jenderal Konservasi dan Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno, sekitar 70 persen mamalia dan primata besar yang dilindungi di Sumatera dan Kalimantan berada di luar kawasan konservasi dan perlu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan untuk konservasi termasuk pelaku usaha sangat strategis, penting, dan mendesak.
KPHP Angkola Selatan (178.000 Ha) merupakan bagian dari ekosistem Hutan Batang Toru yang berfungsi sebagai koridor di antara dua ekosistem besar yaitu ekosistem Gunung Leuser dan Bukit Barisan. Kawasan hutan tersebut memiliki konektivitas dengan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) seluas 108.000 Ha. Seluruh kawasan ini juga termasuk di dalam koridor konservasi Aceh-Sumatera Utara seluas 4,7 juta Ha, koridor ini merupakan daerah jelajah (home range) satwa kunci Sumatera.
Kegiatan survei ini merupakan bagian dari kegiatan Sumatra-Wide Tiger Survey (SWTS). KLHK melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan UPT KSDA Wilayah Sumatera Utara melaksanakan SWTS yang bertujuan untuk memperoleh data distribusi harimau, mangsa, ancaman, dan kondisi hutan. Selain itu, juga terdapat program perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar di luar Kawasan Konservasi melalui pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dan Kemitraan Konservasi dengan melibatkan masyarakat. Salah satu upaya nyata yang dilakukan, membangun komunikasi dengan para mitra dalam melakukan kesepakatan antara masyarakat dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Menurut Senior Director Terrestrial Program, CII, Nassat D Idris, sebagai mitra pemerintah, CI Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk mendukung secara teknis prioritas pemerintah dalam pengelolaan kawasan ekosistem esensial.
“Oleh karena itu, CI Indonesia menginisasi dan mendukung proses multipihak sejak perencanaan awal sampai implementasi dan evaluasi atas pengelolaan kawasan,” katanya.
Hasil survei akan ditindaklanjuti oleh KLHK dan Pemerintah Daerah untuk merumuskan langkah strategis pengelolaan dan pengembangan wilayah secara berkelanjutan. Konservasi satwa dilindungi perlu dilakukan secara multipihak, seperti contoh Tapanuli Selatan dengan luas 433 ribu Ha dengan 50% atau 225 ribu Ha diantaranya memiliki sensitivitas lingkungan yang tinggi dilihat dari faktor biofisik dan sosial budaya. {}