MERDEKABICARA.COM | JAKRTA – Melalui kebijakan Merdeka Belajar episode ketiga mengenai penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memastikan kesejahteraan guru non ASN akan dapat terbantu. Saat ini sebanyak 50 persen dari dana BOS dapat digunakan untuk membantu membayar honor guru tersebut yang memiliki NUPTK dan tercatat di Dapodik pada 31 Desember 2019 di sekolah penerima bantuan dana BOS. Angka ini cukup signifikan dari sebelumnya hanya 15 persen dari total alokasi yang diterima sekolah.
“Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ) No.8 Tahun 2020 ini merupakan kepedulian Kemendikbud terhadap guru yang kurang dapat perhatian, di mana pada poin terakhir disebutkan bahwa penggunaan dana BOS bisa dipakai untuk membayar honor guru, maksimum 50 persen. Untuk sementara kita lakukan ini dulu,” kata Plt Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertema ‘Skema Dana Bos, Kenapa Diubah?’ di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Sabtu (15/2/2020).
Baca juga || Kemendikbud Target 50 Ribu Guru Masuk Program Organisasi Penggerak di 2020-2022
Erlangga menjelaskan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim telah melakukan kajian cukup lama sebelum mengeluarkan kebijakan ‘Merdeka Belajar’ episode ketiga ini. Kajian perubahan skema dana BOS ini juga sudah melibatkan semua pihak.
“Kajiannya sudah lama sejak Pak Nadiem masuk ke Kemendikbud, jadi semua pihak mulai dari guru, (stakeholder) pendidikan, terkait dengan itu, semua dibicarakan dan dianalisis dan diambil keputusan,” tuturnya.
Kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang berfokus pada meningkatkan fleksibilitas dan otonomi bagi para kepala sekolah untuk menggunakan dana BOS sesuai dengan kebutuhan sekolah yang berbeda-beda. Namun, hal ini diikuti dengan pengetatan pelaporan penggunaan dana BOS agar menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Lebih lanjut, Erlangga mengatakan, kenaikan porsi pembayaran gaji guru non ASN dalam dana BOS dapat membantu meringankan beban kepala sekolah yang sebelumnya kerap mencari dana talangan untuk membayar honor guru tersebut. “Jadi, sering kali kepala sekolah nyari dana talangan. Itu kan punya risiko.
Oleh karena itu Kemendikbud mengeluarkan kebijakan ini,” ujarnya.
Baca juga || Dana BOP RA dan BOS Madrasah Naik, Dirjen: Fokus Untuk Peningkatan Mutu
Untuk diketahui, pemerintah mengubah skema penyaluran dana BOS pada 2020 dengan memangkas birokrasi. Dana tersebut langsung ditransfer ke rekening sekolah dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN).
Kepala Sub Direktorat Dana Alokasi Khusus Nonfisik, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Kresnadi Prabowo Mukti yang menjadi salah satu narasumber pada polemik Trijaya FM ini menjelaskan alasan skema penyaluran dana BOS ini diubah pada tahun anggaran kali ini.
Menurut Kresnadi, Dana BOS merupakan pendanaan biaya operasional bagi sekolah yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) nonfisik. Percepatan proses penyaluran dana BOS ditempuh melalui transfer dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) langsung ke rekening sekolah. Sebelumnya penyaluran harus melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi.
Penggunaan SK Sekolah untuk mengambil dana merupakan antisipasi keterlambatan karena memang beberapa dinamika koordinasi di Pemerintah Daerah (Pemda) seringkali terjadi. “Makanya perlu kita ubah hal-hal seperti ini menjadi transfer langsung. Jadi untuk menjawab bahwa kalau dulu di bulan Januari, Februari, kalau kita sebut baru sekitar 4 triliun baru ke Pemda kalau sekarang kalau contoh melihat data per Jumat kemarin itu sudah sekitar 8 triliun langsung ke sekolah. Jadi sudah langsung ke sekolah,” ungkapnya.
Kresna menambahkan pemberian langsung tersebut bisa menggerakkan roda perekonomian secara langsung. “Jadi bagaimana menterjemahkan belanja itu bisa langsung sampai ke tingkat yang paling rendah atau yang paling pucuk yang sama dengan kalau kita lihat dana desa yang juga barusan kemarin ada terobosan langsung ke desa dalam hal ini adalah sekolah,” katanya.
Kresna menjelaskan, penyaluran dana BOS saat ini diringkas menjadi tiga tahap dan mulai disalurkan paling cepat Januari sesuai kesiapan masing-masing sekolah. “Jadi kalau dulu kembali disampaikan pada Januari-April-Juli-Oktober, 20 40 20 20. Sekarang menjadi Januari-April-September, 30 40 30. Kenapa ini kita ubah karena rata-rata dulu itu frekuensinya itu kurang pas karena ada pergantian tahun ajaran,” ujarnya.
Data sekolah yang telah menerima dan BOS Per Jumat (14/02/2020), Kresna mengatakan sampai saat ini sekitar 136 ribu sekolah telah menerima dana BOS tahap I, sisanya dari total 250.000 sekolah yang akan menerima dana BOS tahun 2020 masih tahap verifikasi data oleh Kemendikbud.
Pada kesempatan ini, anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah memberikan catatan khusus terkait kebijakan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS). Menurut Ledia, verifikasi sekolah menjadi suatu hal yang sangat penting dengan berbagai keterbatasan karena luasnya wilayah di Indonesia.
Mengenai pengawasan penggunaan dana BOS oleh sekolah, Ledia berharap pengawasannya semakin intens karena dana bantuannya ditransfer langsung ke rekening sekolah. “Untuk menjaga, mengawasi dan melakukan pencermatan, saya harap pengawasanya semakin intens baik itu dari Itjen (Inspektorat Jenderal) maupun dari masyarakat sendiri, ” pesan Ledia.
Apa Kata Pegiat Pendidikan Tentang BOS
Skema baru bagi BOS reguler yang dikeluarkan oleh Kemendikbud memberikan dampak besar, bukan hanya bagi guru non ASN melainkan juga bagi sekolah. Pemberian BOS langsung ke rekening sekolah ini secara tidak langsung memaksa sekolah untuk memiliki sistem tata kelola yang baik. Pegiat pendidikan, Asep Sapa’at, mengungkapkan bahwa pendidikan adalah investasi. Oleh karena itu yang harus dipastikan adalah tanggung jawab moral pengelola dana agar semua dana bantuan yang telah dikeluarkan pemerintah bisa dipertanggungjawabkan .
“Biaya apapun yang dikeluarkan terkait pendidikan Ini bicaranya harus paradigmanya investasi. Maka kalau bicara investasi harus ada parameter yang terukur. Perubahan seperti apa yang diharapkan dengan adanya kucuran dana sebesar itu,” tutur Asep.
Kebijakan ini, lanjut Asep, menjadi momen yang sangat penting untuk menguji kapasitas kepala sekolah di bidang kepemimpinan dan tata kelola sekolah. Dalam bidang kepemimpinan bisa dilihat dari visi dan strategi yang dimiliki kepala sekolah tersebut. “Jika kepala sekolah tidak memahami apa tujuannya artinya berbahaya, dalam arti berapapun anggaran yang dikucurkan tidak paham digunakan untuk apa. Kalau bicara tentang visi sebenarnya sudah tahu apa yang dilakukan dan kita harus ingat dan sadari bersama bahwa uang itu salah satu bantuan untuk peningkatan sumber daya,” jelas Asep.
“Kemudian yang kedua bicara soal manajerial tata kelola tadi saya sepakat bahwa hari ini ketika transfernya langsung ke sekolah, kita akan bisa melihat mana kepala sekolah yang betul-betul mengelola guru, murid, pembelajaran, sarana prasarana maupun anggaran lain. Jadi bisa kita lihat bagaimana profil kepala sekolah yang kita miliki dalam aspek kepemimpinan dan manajerialnya,” imbuh Asep.
Selain peningkatan persentase untuk guru non ASN, menurut Asep, yang tidak kalah penting adalah kemerdekaan guru dalam mengembangkan profesionalismenya karena hal ini berdampak pada anak didik agar anggaran yang besar ini dapat menghasilkan sumber daya manusia seperti yang diharapkan bersama.
Dikatakan Asep bahwa ada 4 kategori sekolah. Kategori pertama yaitu sekolah kalah. Sekolah yang kalah itu sekolah yang tingkat ketercapaian tujuan sekolah, program visi sekolah kecil dan sekolah ini tidak punya strategi. Kategori kedua yaitu sekolah beruntung. Sekolah ini mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi, misalnya memiliki lulusan bagus dan guru bagus tapi tidak punya strategi. Sekolah-sekolah kategori ini sebenarnya punya peluang tipis untuk bisa mencapai keberhasilan di tahun-tahun berikutnya.
Selanjutnya, Kategori ketiga adalah sekolah belajar. Sekolah belajar adalah sekolah yang tingkat keberhasilannya masih kecil tapi sudah punya strategi sehingga selalu melakukan evaluasi setiap tahun. Kategori terakhir yaitu sekolah pemimpin. Sekolah ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi di mana ada capaian target yang tinggi serta efektivitas strategi yang tinggi.
“Ada beberapa parameter. Yang pertama adalah tata kelola jadi sekolah itu sudah punya satu sistem yang memang sudah fix misalkan sistem proses pengembangan profesionalisme gurunya, bagaimana sistem pengembangan minat dan bakat anak, bagaimana peningkatan kualitas pembelajaran dan aspek-aspek lain menjadi punya satu sistem tata kelola yang fix dan itu terus ditingkatkan. Saya ingin bisa melihat hasil pembelajaran,” terang Asep.
Sementara itu Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia, Didi Suprijadi, mengungkapkan bahwa dalam skema kebijakan Dana BOS terdahulu banyak guru yang tidak mau menjadi kepala sekolah karena sangat sulit mengelola keuangan sekolah sehingga harus melakukan berbagai manuver untuk menutupi operasional sekolah.
Ia mengingat kembali penyaluran BOS yang terdahulu. “Turunnya uang itu sekitar bulan Maret. Bagaimana harus bayar listrik dan ada yang rusak harus diganti? Belum lagi yang paling sedih adalah alokasi guru honorer 15 persen juga bukan khusus untuk guru honorer tetapi untuk belanja pegawai. Judulnya belanja pegawai kalau belanja pegawai honorer itu paling terakhir nanti kalau ada sisa. Guru honorer ini ya karena masuknya kepada belanja pegawai sering tidak kebagian nah mengakibatkan guru honorer di dapatnya ada yang 300. Bayangkan Rp300.000 per bulan dibayar 3 bulan sekali itu di akhir,” jelas Didi.
“Yang lebih rawan lagi ini kepala sekolah mencari talangan. Talangannya ke mana? Kadang-kadang ke rekanan. Kalau kata rekanan boleh dibayar dulu tapi harganya yang maksimal sesuai dengan e-budgeting,” imbuh Didi.
Terkait dengan peraturan bahwa guru non ASN yang akan menerima Dana BOS harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), Didik mengatakan bahwa hal tersebut menjadi kendala, mengingat syarat untuk mendapatkan NUPTK adalah guru honorer tersebut harus memiliki SK penugasan dari dinas pendidikan.
“Sedangkan pada kenyataannya banyak pemerintah daerah yang tidak mau mengeluarkan SK. Jadi saya minta agar syarat NUPTK dipertimbangkan kembali. Yang penting guru tersebut terdaftar di Dapodik,” harap Didi. {}