MERDEKABICARA.COM | MADRID – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin, 9 Desember 2019. Perubahan iklim tidak hanya menyangkut perubahan temperatur, yang lebih penting lagi menyangkut perubahan sistem kepercayaan dan sikap sosial dalam merawat bumi dan sumberdaya alam. Demikian disampaikan oleh Nana Firman, Koordinator Muslim Green Faith di Amerika, ketika membuka sesi Interfaith di Paviliun Indonesia UNFCCC COP-25 di Madrid.
Agama berpotensi menggerakkan umat manusia untuk mengendalikan perubahan iklim. Hal itu dibuktikan melalui sejumlah aksi nyata di berbagai belahan dunia.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyatakan, kekuatan agama untuk menggerakkan manusia pada hal-hal yang sifatnya abstrak. Sebut saja soal surga dan neraka yang secara fisik tidak diketahui.
Di sisi lain, perubahan iklim yang secara nyata terjadi, belum mampu menggerakkan umat manusia secara masif untuk melakukan aksi mencegah pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK).
Untuk itu, Yenny mengajak mengoptimalkan peran agama dan umatnya. “Saya mengajak semua untuk hijrah melakukan tindakan untuk pengendalian perubahan iklim,” kata Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid usai menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP25 UNFCCC di Madrid, Spanyol, Senin (9/12/2019).
Menurut Yenny, upaya menggerakan umat manusia agar beraksi dalam pengendalian perubahan iklim keliru jika hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Menurut dia, seharusnya umat manusia juga disentuh hati dan perasaannya agar melakukan aksi konkrit. Kemampuan menyentuh emosi umat manusia itulah yang dimiliki oleh agama. “Tidak bisa hanya sekadar fakta, harus sentuh juga emosinya,” kata Yenny.
Dia menuturkan, selama ini kerap ada pertentangan antar kelompok beragama dengan pihak yang mengagungkan ilmu pengetahuan. Sebut saja dalam pembahasan soal asal-usul manusia. Kelompok yang percaya manusia berevolusi dari kera kerap bertentangan dengan konsep penciptaan manusia yang diajarkan oleh agama. Namun pastinya, ujar Yenny, jika seluruh umat manusia meneruskan gaya hidup saat ini yang boros emisi GRK, maka bencana iklim seperti banjir akan terjadi. “Ketika saat itu terjadi, tdak ada perahu Nabi Nuh yang akan menolong kita,” katanya.
Besarnya potensi agama dalam pengendalian perubahan iklim karena sekitar 80% umat manusia yang ada di bumi saat ini memeluk agama. Yenny pun menuturkan, agar peran agama bisa opimal maka organisasi keagamaan dan para pemuka agama harus dilibatkan sebagai pihak dalam pengendalian perubahan iklim. Mereka juga harus mendapat edukasi dan difasilitasi sehingga memahami apa penyebab dan dampak perubahan iklim.
“Pemimpin keagamaan bisa menyebarkan dakwah baru tentang ancaman perubahan iklim,” katanya.
Apalagi, berbagai agama di dunia sesungguhnya mengajarkan tentang perlunya menjaga lingkungan hidup. Dalam ajaran Islam, ada konsep manusia sebagai khilafah- khilafah yang harus mengambil kepemimpinan dalam menjaga bumi. Dalam agama Sikh, konsep tersebut juga ada dan harus dilakukan oleh semua pengikutnya.
Saat ini sudah banyak aksi nyata yang dilakukan oleh kelompok umat beragama. Yenny mencontohkan saat menghadiri pertemuan ulama-ulama di Oman dibahas tentang fikih (hukum Islam) penghematan air.
Dia menuturkan, banyak juga sinagog yang kini menerapkan penghematan energi dan memanfaatkan energi bersih. Sementara gereja-gereja, banyak yang berinvestasi pada proyek yang berdampak pada pengendalian perubahan iklim.
Menurut Yenny, fenomena keterlibatan kelompok beragama dalam pengendalian perubahan iklim juga terjadi di Indonesia. Dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia telah menjalin kerjasama dengan KLHK. Kedua organisasi tersebut, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah kerap melakukan aksi yang bermanfaat bagi lingkungan hidup seperti menanam mangrove, mendaur ulang sampah, dan tidak menggunakan plastik sekali pakai.
Dia berharap peran seperti itu bisa terus diperkuat. “Kita beruntung kerja sama antara pemerintah dan organisasi kemasyarakat an di Indonesia erat,” katanya. (MB)