ERDEKABICARA.COM | Jakarta -Terkait ketidakadilan pembagian uji kadar logam nikel terhadap pengusaha lokal ditanggapi Meidy Katrin Lengkey, Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Pasalnya, para penambang nikel lokal mengklaim banyak dirugikan soal penghitungan kadar nikel oleh pengusaha smelter.
Ketidakadilan ini sebut Meidy tampak jelas ketika para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan nikel wajib menggunakan surveyor yang ditunjuk pemerintah, sementara pihak smelter yang merupakan investasi asing, boleh menunjuk surveyor sendiri.
“Pengusaha nasional dibebani berbagai kewajiban tetapi kewajiban yang sama tidak berlaku bagi pengusaha asing,”kritik Meidy, di kantornya DPP APNI, Pecenongan, Jakarta Pusat, Jumat, (24/9/2021)
Hal ini sebut Meidy dikarenakan ada 11 surveyor di pertambangan nikel, 10 surveyor di sisi hulu tetapi hanya satu surveyor di sisi smelter, pabrik peleburan nikel.
Menurut Meidy, dibalik gemerlap nikel sebagai mineral masa depan,
dari sinilah ketimpangan muncul. masalah soal perbedaan hasil uji kadar logam nikel antara yang dilakukan surveyor yang ditunjuk pemerintah dengan yang ditunjuk pembeli. Hasil analisis kandungan nikel oleh surveyor pembeli, seringkali jauh di bawah hasil analisis surveyor penambang.
Dia mengungkapkan, pengusaha mengalami kerugian karena kandungan nikel sangat berpengaruh pada harga. Semakin tinggi persentase kandungan, semakin mahal harga nikel.Setiap surveyor memiliki kadar yang berbeda.
“Penurunan kadarnya bisa jauh, dari 1,8 persen bisa menjadi 1,5 persen bahkan 1,3 persen.Memang terjadi karena data kita sampai bulan ini 5.000 kontrak, biji nikel, dari 5 ribu, terjadi selisih yang luar biasa, kita wajib mematuhi HPM (harga patokan mineral) dan PPN (pajak pertambahan nilai) setengah persen sebelum tongkang jalan,” jelas Meidy.
Padahal aturan pemerintah, istilahnya pengusaha untung dan negara untung sebgaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara harus dijalankan.
“Industri di hilir gak bisa berjalan kalau di hulunya saja dibuat seperti ini.Padahal pemerintah bisa mengintervensi masalah ini. Karena, kebijakan ini akan mempengaruhi setiap pengusaha,”jelas Meidy
Tetapi demikian, kata dia, pihaknya masih mendapati, pengusaha smelter ada yang disana tak mematuhi HPM, saat membeli nickel ore atau bijih nikel.
Penambang nikel menyayangkan sikap pihak smelter selaku pembeli karena harga nikel tidak sesuai arahan pemerintah, yaitu berdasarkan Free on Board (FoB) atau harga dibeli di atas kapal tongkang, sehingga biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli.
“Kita rugi dong. Ada 11 surveyor itu dipakai hanya satu surveyor. Memang itu bicaranya bicara busines to busines (B to B), itu suka-suka dia, tapi ada permasalahan ada tongkang ribuan ni, gak mungkin 60 juta ton nikel disuplai sendiri, setidaknya harus bagi-bagi, seperti kuota gitu,” kata dia.
Nah perusahaan yang tidak kebagian jatah, kata dia, secara otomatis terbebani dengan harga nikel yang diberlakukan smelter saat ini adalah sistem CIF (Cost Insurance and Freight) yaitu biaya angkutan dan asuransi dibebankan kepada penjual. Seharusnya sesuai regulasi pemerintah, pembeli atau smelter membeli dengan sistem FoB, yaitu menanggung seluruh biaya angkutan dan asuransi yaitu sekitar US$ 4 per ton.
Meidy menambahkan protes ke Pihak Smelter
Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.Pengusaha smelter membeli nikel kepada penambang di bawah HPM. Karena itu dia gerah masih ada pihak semelter yang mengabaikan regulasi dari pemerintah.
“APNI memprotes pihak smelter karena belum membeli or dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan regulasi dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah,”tutup Meidy.(rL)