MERDEKABICARA.COM | LHOKSEUMAWE – Penulis sekaligus wartawan Aceh, Ayi Jufridar, menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul “Cinta Dalam Secangkir Sanger” yang berisi 25 cerpen berlatar konflik Aceh.
Kumpulan cerpen “Cinta Dalam Secangkir Sanger” mengambil judul salah satu cerpen yang ada dalam buku tersebut. Cerpen itu berkisah tentang perjuangan seorang pemuda mantan gerilyawan yang kembali mengangkat senjata untuk melawan mantan kawan seperjuangan yang menjadi penguasa korup. Perjalanan hidup pemuda tersebut, termasuk kehidupan asmaranya dengan seorang perempuan, diibaratkan seperti rasa sanger yang manis dengan sedikit rasa pahit di ujungnya. Rasa sanger seolah mewakili perjalanan hidup pasangan itu yang bisa saja berakhir duka atau bahagia.
Kisah-kisah lain dalam buku ini juga sangat dekat dengan kondisi di Aceh selama atau pascakonflik bersenjata, baik menyangkut isu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan perasaan terdalam anak manusia. Meski menemukan relevansi konflik tersebut dengan kejadian di Aceh, hampir tidak ada sebutan Aceh di dalam buku fiksi ini.
“Konflik di Aceh bisa saja terjadi di mana saja dan kapan saja. Saya tidak mengangkat sisi geografisnya, tetapi lebih menekankan aspek kemanusiaan yang relevan dengan negara mana pun di belahan bumi ini,” kata Ayi Jufridar, Sabtu (13/2/2021).
Antologi cerpen “Cinta Dalam Secangkir Sanger” diterbitkan Prabu Dua Satu, Kota Wisata Batu, Malang. Cerpen-cerpen dalam antologi ini, ada yang sudah pernah diterbitkan media cetak dan elektronik di Aceh dan nasional, serta beberapa cerpen lainnya belum pernah terbit di mana pun.
Bagi Ayi Jufridar yang juga seorang dosen non-PNS di Univesitas Malikussaleh, ini merupakan buku fiksi kelimanya setelah _Alon Buluek_ (Grasindo, 2005), _Kabut Perang_ (Universal Nikko, 2010), _Putroe Neng_ (Grasindo, 2011), dan _693 Km Jejak Gerilya Sudirman_ (Noura Publishing, 2015).
Sastrawan Kurnia Effendi, menyebutkan buku ini menyodorkan konflik tanpa adegan fisik di depan mata. Karakter dalam buku tersebut dinilai Kurnia Effendi, “bangkit dalam alur progresif dan drama yang memeras perasaan bukan dengan cara provokatif”.
Sementara, Rektor Universitas Malikussaleh, Dr Herman Fithra Asean Eng, menilai Aceh merupakan samudra inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sastra. “Bahkan dalam secangkir sanger pun mengandung banyak kisah manis dan pahit yang bisa terjadi di mana saja di belahan bumi ini,” sebut Herman dalam _endorsement_ buku tersebut. {}