MERDEKABICARA.COM | ACEH TENGAH – Harga kopi arabika Gayo dalam sebulan terakhir ini terus mengalami penurunan yang drastis. Dibandingkan dengan awal tahun 2020 lalu, penurunan harga kopi Gayo ini sudah mencapai 50 persen. Ironisnya, dalam kondisi harga yang ‘terjun bebas’ ini, banyak pedagang yang menghentikan aktifitas pembelian kopi dari petani. Alasan pedagang tidak berani membeli kopi dari petani, karena saat ini sangat sulit menjual kopi ke luar negeri akibat semua negara buyer seperti Eropa dan Amerika juga terdampak cov id-19 sehingga mereka menhentikan sementara ekspor dari Indonesia, termasuk kopi Gayo
Kopi Gayo merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat Dataran Tinggi Gayo yang diharapkan mampu menopang kehidupan masyarakat pada saat terjadi krisis akibat covid ini. Namun disaat ekonomi masyarakat mulai sulit, justru kopi arabika tidak bisa diandalkan sebagai penopang kebutuhan hidup.
Dari data statistik pertanian nilai jual kopi arabika gayo (dari tiga kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues) berkisar 3,3 triliun rupiah per tahun. Sementara untuk Aceh Tengah hasil produksi kopi arabika per tahun nilainya mencapai Rp 1,8 triliun.
Dalam kondisi harga kopi jatuh dan nyaris tidak ada pembeli, Pemkab Aceh Tengah membutuhkan anggaran 1,8 T untuk menyerap semua hasil produksi kopi dari petani, tentu ini diluar kemampuan pemerintah daerah yang APBKnya sangat terbatas. Bahkan untuk menalangi jual tuda dengan sistem resi gudang dengan asumsi dana talangan 70 persen dari nilai jual atau sekitar 1,26 triliyun rupiah pun masih belum memungkinkan. Semantara masyarakat, khususnya petani kopi saat ini sangat membutuhkan dana untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
Bupati Shabela gelar pertemuan dengan stake holders terkait.
Untuk mencari solusi mengatasi masalah ini, Senin (13/4/2020) Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar menggelar rapat koordinasi dengan semua stake holders terkait mulai dari petani kopi, pedagang, asosiasi, koperasi eksportir, perbankan, anggota DPRK dan instansi terkait. Rapat itu juga diikuti oleh Wakil Ketua DPRA, Hendra Budian melalui telekonferensi.
Perwakilan Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM Kabupaten Aceh Tengah, Hadiyan W Ibrahim, Ph D dalam pertemuan tersebut menyebutkan, untuk menalangi hasil produksi kopi arabika di Aceh Tengah dibutuhkan dana sekitar Rp 1,8 triliun.
“Untuk sekali musim panen saja diperkirakan nilainya mencapai Rp 800 miliar lebih, dan saat ini kita sedang memasuki masa panen” kata Hadiyan.
Menurut Hadiyan, angka produksi kopi arabika Gayo sebanyak 68 ribu ton green bean, 40 persen diantaranya dari di Kabupaten Aceh Tengah dengan nilai jual sekitar Rp 1,8 triliun.
Sementara itu Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG), Mustafa Ali menambahkan, kondisi saat ini bisa dikatakan menjadi darurat ekonomi, karena selain harga kopi anjlok, juga kopi arabika hampir tidak ada pembeli.
“Hari ini petani kopi berada di titik nadir, harus ada intervensi pemerintah untuk mencari solusi demi menyelamatkan petani kopi arabika Gayo dan juga perekonomian daerah” ungkapnya.
Dalam pertemuan itu juga terungkap harga kopi yang harus diterima petani saat ini. Dalam kondisi normal, harga green bean kualitas standar mencapai Rp.80.000,- per kilogram, sementara saat ini, kalaupaun ada pedagang yang membeli, hanya berani memasang tarif Rp 40.000,- atau turun 50 persen. Begitu juga dengan kopi gelondong merah (cerry) yang sebelumnya laku 10 -11 ribu rupiah per kilogram, kini hanya dihargai 6.500 rupiah.
Ungkapan bernada keluhan juga disampaikan oleh Ketua Koperasi Kopi (Kopepi) Ketiara Rahmah yang juga pengelola Sistem Resi Gudang (SRG) kopi arabika di Aceh Tengah. Menurutnya, karena stok kopi belum bisa diekspor, untuk membeli kopi dari petani, pihaknya terpaksa harus meminjam uang dari Bank senilai Rp 10 miliar.
“Dana kopersai ditambah uang pinjaman dari sudah habis untuk membeli kopi dari petani, tapi stok kopi belum bisa dijual sampai sekarang, sementara produksi kopi dari petani juga butuh pemasaran” ungkap Rahmah.
Rahmah juga menyampaikan bahwa buyer dari Amerika menyetop sementara pengiriman karena banyak cafe-cafe disana tidak buka lantaran adanya wabah virus corona. Sementara Amerika selama ini menjadi buyer potensial bagi kopi arabika Gayo.
“Saat ini posisi kami sangat terjepi, di satu sisi kami ingin tetap membantu petani tapikami sudah tidak punya modal lagi, disisi lain kami juga punya beban membayar bunga pinjaman dari bank, kami tidak tau kondisi seperti ini sampai kapan akan berakhir, kami mohon bapak-bapak pihak terkait bisa membantu mencarikan solusi” pintanya.
Mananggapi permalahan tentang kopi yang menjadi ‘nyawa’ bagi masyarakat Gayo, dalam pertemuan tersebut Bupati Shabela meminta pihak perbankan yang ada di kabupaten Aceh Tengah ikut berperan dalam mengatasi kondisi ini dengan cara memberikan tambahan alokasi kredit kepada koperasi eksportir agar koperasi dapat membeli kopi petani.
“Petani sedang kesusahan karena kopinya tidak ada yang beli, sementara pedagang dan koperasi juga tidak bisa membeli lagi karena kehabisan modal, jadi saya minta kepada pihak perbankan tolong bantu tambahn kredit bagi koperasi dan pedagang supaya mereka bisa membeli kopi dari petani” ungkap Shabela.
Shabela juga mengatakan, cara paling aman dalam mengatasi permasalaha ini adalah dengan mengoptimalkan dan meningkatkan kapasitas sistem resi gudang. Bupati Aceh Tengah ini juga meminta kepada pengelola resi gudang untuk mempermudah persyaratan bagi petani untuk bisa mengakses dan memanfaatkan resi gudang ini.
Sementara untuk pemberian stimulus menggunakan anggaran daerah, Shabela menyatakan pihaknya akan segera melakukan kajian, terutama aspek legalitas hukumnya
“Kita akan lakukan kajian hukum tentang pemberian stimulus untuk membantu menangani permasalahan yang sedang dihadapi olegh petani kopi gayo ini, kalau memang ada payung hukumnya, tentu kita akan upayakan dari anggaran daerah”, pungkasnya.
Seluruh petani Gayo tentu sangat menunggu realisasi dari hasil pertemuan tersebut, karena kalau sampai kopi mereka tidak laku, bagaiman mereka kan memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam masa sulit seperti ini. Solusi yang sama juga diharapkan oleh para petani hortikultura yang juga terdampak oleh pandemi covid ini. {}