MERDEKABICARA.COM | BANDUNG – Pembangkit listrik tenaga nuklir hingga kini belum kunjung terwujud di Indonesia. Meski demikian, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terus melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka penguasaan teknologi, salah satunya penguasaan teknologi keselamatan reaktor nuklir dengan meneliti fluida pendingin baru, yakni nanofluida. Hal ini disampaikan peneliti Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) BATAN, Dani Gustaman Syarif, saat ditemui di ruang laboratorium kerjanya, di Kawasan Nuklir Bandung, Jumat, (06/12).
Hasil riset Dani yang baru dikukuhkan sebagai profesor riset pada November lalu ini menunjukkan, nanofluida memiliki konduktivitas termal atau kemampuan untuk menghantarkan panas yang lebih baik dibandingkan dengan fluida pendingin konvensional, seperti air.
“Dengan adanya nanopartikel di dalamnya, nanofluida memilik konduktivitas termal yang lebih baik daripada fluida dasarnya, dalam hal ini air,” jelas Dani.
Selama ini, reaktor nuklir menggunakan air sebagai penghantar panas sekaligus pendingin dalam reaktor. Berbagai cara dilakukan untuk mencari konduktivitas termal fluida yang lebih besar, seperti memperluas permukaan pipa-pipa atau memberi tekanan lebih tinggi sehingga kecepatan airnya lebih besar, namun masih dinilai tidak ekonomis, sehingga dinilai perlu untuk memperbaiki karakteristik fluida dasar itu sendiri, dengan mengembangkan nanofluida.
Menurutnya, nanofluida dapat digunakan pada 4 bagian reaktor nuklir, yakni sebagai pendingin primer, pendingin sekunder, pendingin untuk ECCS (Emergency Core Cooling System) dan RVCS (Reactor Vessel Cooling System).
“Beberapa literatur menyebutkan, nanofluida memiliki kemampuan konduktivitas termal lebih besar hingga 40 persen daripada konduktivitas fluida dasar seperti air, sehingga bisa meningkatkan efisiensi dari sisi ekonomi,” terangnya.
Nanofluida dapat dbuat dari berbagai bahan nanopartikel seperti logam, keramik, dan karbon, dengan menggunakan berbagai fluida dasar seperti air, etilen glikol, minyak, dan lain-lain. Namun menurut Dani, yang paling menjanjikan adalah penggunaan nanopartikel dari bahan keramik karena bahan awalnya (raw material) tersedia berlimpah di Indonesia.
Penelitian nanofluida di dunia bukanlah hal baru, nanofluida pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Negara lainnya seperti Korea dan Malaysia juga meneliti nanofluida untuk reaktor nuklir.
Meski berpotensi meningkatkan nilai ekonomi dan keselamatan, nanofluida yang diteliti Dani baru mencapai Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) 3, sehingga masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Nanofluida juga diperlukan di dunia industri seperti otomotif ataupun industri lainnya yang menggunakan sistem perpindahan panas.
“Nanofluida berpotensi besar dimanfaatkan di sistem pendingin sekunder, ECCS, dan RVCS, sedangkan untuk pendingin primer butuh kajian lebih lanjut. Namun secara paralel, nanofluida juga berpotensi untuk dimanfaatkan masyarakat, seperti di industri otomatif atau pupuk. Karena itu, diperlukan kerja sama dengan pihak swasta atau industri untuk menegembangkan nanofluida ini hingga dapat mencapai TKT 6 atau 7,” pungkasnya.