MERDEKABICARA.COM | LHOKSEUMAWE – Dalam lautan toga dan senyum kebahagiaan para wisudawan Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL), sebuah momen sunyi tiba-tiba menyelimuti ruangan. Di antara tepuk tangan yang bergema, satu nama disebut dengan penuh haru: Almarhumah Safira. Ia tak lagi hadir secara raga, namun semangat dan ilmunya masih hidup, bersinar lembut dari alam keabadian.
Safira, putri dari Almarhum Bapak Muslem Mahmud dan Ibu Yusnidar A. Wahab, merupakan mahasiswi Program Studi Teknologi Rekayasa Jaringan Telekomunikasi, Jurusan Teknik Elektro.. Dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,21, ia telah menuntaskan perjuangannya dengan hasil yang membanggakan. Namun sebelum sempat mengenakan toga kebanggaan, takdir Ilahi memanggilnya pulang.
Dalam suasana penuh haru di auditorium PNL, Direktur PNL Dr (C). Ir. Rizal Syahyadi, ST., M.Eng.Sc., IPM., ASEAN.Eng., APEC.Eng., didampingi oleh Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) PNL, drg. Nadia Sartika, MKM, menyerahkan ijazah almarhumah kepada ibunda tercinta, Ibu Yusnidar A. Wahab.
Lembaran ijazah itu berpindah tangan dengan penuh khidmat, bukan sekadar dokumen akademik, melainkan simbol cinta, perjuangan, dan ketulusan seorang anak yang telah menunaikan amanah ilmunya hingga akhir hayat.
“Ananda Safira telah menuntaskan perjuangannya. Ia mungkin tidak sempat mengenakan toga ini, tetapi di sisi Allah SWT, ia telah mengenakan mahkota kemuliaan,” tutur Direktur dengan suara bergetar, disambut keheningan dan isak haru hadirin yang menunduk dalam doa.
Dengan mata berkaca-kaca, Ketua DWP PNL drg. Nadia Sartika, MKM, turut menyampaikan rasa haru dan penghormatannya. Ia mengatakan, momen ini menjadi pengingat bahwa cinta dan doa seorang ibu tak pernah berakhir, bahkan setelah kepergian sang anak.
“Kami turut merasakan duka sekaligus kebanggaan yang mendalam. Safira telah menunaikan amanah ilmunya dengan penuh ketulusan. Semoga ia mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, dan semoga ibunda beliau senantiasa diberikan kekuatan dan kesabaran,” ungkapnya lembut.
Tangis Ibu Yusnidar pecah perlahan. Ia menerima ijazah itu dengan tangan gemetar, bukan karena kehilangan, melainkan karena kebanggaan yang tak terucapkan. Dalam tatapan matanya, tergambar kasih sayang yang abadi, kasih sayang yang menjembatani bumi dan surga.
Kini, nama Safira akan selalu dikenang di kampus tercinta PNL, bukan sekadar sebagai mahasiswa, tetapi sebagai simbol bahwa ilmu sejati tidak mengenal kematian. Ia mengajarkan bahwa menuntut ilmu adalah bentuk pengabdian, dan pengabdian yang tulus akan selalu mendapat tempat di sisi Tuhan. Ijazah itu mungkin kini tersimpan di tangan seorang ibu, tetapi maknanya telah menembus langit.
Ia menjadi bukti bahwa PNL bukan hanya melahirkan lulusan, melainkan juga menumbuhkan jiwa-jiwa pejuang ilmu yang berjuang hingga akhir napas. Semoga setiap huruf ilmu yang pernah ditulis Safira menjadi cahaya yang menerangi jalannya di alam keabadian. Dan semoga setiap doa yang mengalun dari hati ibunya menjadi jembatan kasih yang tak pernah terputus. Al-Fatihah untuk Almarhumah Safira. {}