MERDEKABICARA.COM | ACEH UTARA – Petani dan nelayan yang tergabung dalam wadah organisasi Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA ) sangat berharap Pj Gubernur Aceh, Bapak Achmad Marzuki lebih peduli terhadap nasib mereka.
Hal ini disampaikan Ketua KTNA Aceh Utara, Zulhelmi Yunus saat berbincang bincang terhadap nasib pertani dan nelayan Aceh Utara, Sabtu (31/7) di Krueng Geukueh.
Dikatakannya, kondisi para petani dan nelayan wilayah Aceh Utara saat ini sungguh sangat memprihatinkan dan butuh perhatian yang serius dari pemerintah Aceh.
“Petani dan nelayan Aceh Utara selama ini merasakan sangat minim tersentuh bantuan yang bersumber dari dana APBA, padahal mereka kalangan petani dan nelayan sangat membutuhkannya,” ujar Zulhelmi.
Menurutnya, yang dibutuhkan oleh petani dan nelayan mungkin sangat sederhana dan kesemuanya merupakan sarana penunjang bagi peningkatan dan kelancaran usaha mereka seperti bibit palawija, pupuk, jaring dan bibit ikan yang disertai pelatihan.
Petani dan nelayan sangat berharap terhadap bantuan tersebut lantaran keterbatasan modal serta pengetahuan yang mereka miliki.
“Jangankan membeli bibit, pupuk atau jaring ikan, untuk makan sehari-hari saja mereka susah, harapan kami semoga Pj Gubernur Aceh lebih memperhatikan nasib warga petani dan
nelayan,” ucapnya
Zulhelmi juga mengaku prihatin melihat masih cukup banyak khususnya warga nelayan yang mendiami pesisir pantai di Aceh Utara dililit kemiskinan. Dia melihat berjejernya rumah rumah tidak
layak huni menghiasi pemukiman mareka.
Semua mungkin akan bertanya “Mengapa banyak nelayan di Aceh Utara masih miskin?”. Pertanyaan ini memang sederhana namun cukup menggelisahkan dan harus segera dicari solusi untuk mengangkat derajat hidup kaum nelayan yang masih serba tertinggal itu.
Menurut Helmi, penyebab utama kemiskinan nelayan di Aceh Utara, terletak pada pola patron-klien
yang begitu menggurita antara nelayan dengan majikan (mugee). Pola ini pula yang menyebabkan penghidupan kaum nelayan turun temurun tetap miskin.
Dijelaskan, pola ini sangat sulit untuk dihilangkan. Hal ini terjadi karena para kalangan mugee adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu keperluan semasa berada dilaut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan dirumah.
Hal demikian sudah berlangsung secara berkesinambungan hingga kaum nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya.
Selain itu, lanjut Zulhelmi, persoalan tanah juga menjadi masalah pokok bagi nelayan, sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat. Kondisi bisa disaksikan sepanjang pesisir Aceh Utara yang sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yag luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal
saja yang dimiliki.
Hal lain adalah masih minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, padahal tingkat pendidikan sangat berpengaruh dan menjadi penyebab kemiskinan sangat lengket terhadap nelayan. Sementara regulasi bantuan yang dikeluarkan pemerintah untuk nelayan dirasakan masih minim.
Terhadap kondisi penghidupan nelayan yang terus dililit kemiskinandiperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkanpersoalan-persoalan nelayan. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi
oleh masyarakat nelayan di Aceh Utara.
Mungkin dari hasil sharing lesehan tersebut lahir sebentuk ide dan gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan. Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. (Ucr).