MERDEKABICARA.COM | ACEH UTARA –
Tertanggal 15 Agustus 2005 merupakan tonggak bersejarah bagi rakyat Aceh karena pada tanggal tersebut dicapai kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan GAM setelah puluhan tahun berperang. Dan pada 15 Agustus 2021
kemarin berarti sudah 16 tahun damai Aceh yang setiap tahunnya diperingati sebagai mengenang betapa kondisi dan suasana saat perang berkecamuk.
Dalam kurun waktu damai tersebut bagi rakyat Aceh tentu sudah merasakan betapa nikmatnya suasana damai. Tidak ada lagi rasa takut, was was atau khawatir dalam bepergian.
Namun dalam kurun waktu suasana damai tersebut pula mungkin banyak
diantara kita ikut menyaksikan berbagai didamika sosial dan politik yang tidak damai. Dapat dibaca, apakah semua yang terjadi belakangan ini sebagai sinyal perdamaian yang belum sepenuhnya damai.atau memang
sudah ciri khas diantara kita untuk sulit rukun.
Kenapa kita mudah lupa, kalau yang namanya pertikaian, pertengkaan dan
tidak rukun ujungnya rugi. Menydihkan memang, entah sudah nasib bagi
Rakyat Aceh kalau pemimpinnya di era damai ini, mulai tingkat gampong
hingga elit elit puncak di propinsi dalam kondisi tidak rukun. Kenapa
kita belum juga sadar bila suasana gontokan akan sangat mudah
dipolitisir menjadi muatan politik yang bertendensi konflik.
Mestinya perbedaan pemikiran dan persepsi politis tidak muncul dalam
ruang publik secara blablakan’. Apalagi kisarannya konflik hanya
berputar pada kepentingan yang sama secara berulang-ulang. Ngerinya
lagi tidak rukun sudah tercover oleh media secara terbuka dimana antar
pihak yang bertikai, seperti mempermainkan perdamaian. .
Berulangnya konflik antar elit hari ini, akan memicu macetnya
pembangunan. Damai menjadi mainan politik, semakin tinggi pemahaman
damai secara politik, semakin tinggi pula peran mereka dalam ayunan do
da idi nanggroe menjadi suasana yang gamang.
Harusnya dalam dinamika roda pemerintahan yang telah berjalan selama ini, semua yang mengarah kepada ketidakstabilan politik dalam nanggroe sudah terkikis habis. Bahkan kebijakan Jakarta dengan terus bersahabat disertai kucuran dana yang melimpah menjadi peluang bagi mempercepat kemakmuran nanggroe seperti yang tertuang dalam UUPA.
Namun yang terjadi dan berkembang bukannya makmur dan tenteram yang
terbangun melainkan mengarah kepada tidak rukun .
Disisi lain dengan kucuran dana‘yang melimpah tersebut apa yang
terlihat selain rakyat yang terus terhimpit kemiskian. Mestinya kita
bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan yang sedang terjadi,
dalam arti kita juga harus instospeksi , melakukan evaluasi atas kinerja kita selama ini.
Apakah karunia Allah SWT dalam menggapai perdamaian yang disertai
guyuran dana yang melimpah telah benar benar kita jalankan menurut
yang diamanahkan? Apakah dana melimpah itu telah kita jadikan fondasi
bagi kemakmuran Aceh, apakah tata kelola dana sudah tepat guna untuk
rakyat di semua lini baik kota maupun gampong?.
Semua pertanyaan pertayaan tersebut mungkin tidak terjawab, karena di
tataran elit hingga hari ini belum rukun. Amanah UUPA masih belum
sepenuhnya berjalan.. Begitu juga cita cita menjadikan Aceh sebagai
negeri bersyariat yang madani tinggal mimpi.
Maka sudah semestinya kita tidak menafikan persoalan negeri sendiri
yang carut marut dengan bertindak sebagai orang yang tidak melihat
gajah dipelupuk mata, namun bisa melihat semut di seberang lautan.
Kita jangan munafik atas realitas karunia yang didapat dengan tidak
mengoptimalkan dalam membangun basis perdamaian dan kemakmuran.
Al Qur’an, Surat Ali Imron ayat 103. terjemahannya ;
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu orang orang bersaudara
karena nikmat Allah”.
Ketika amanah rakyat kepada para pemimpin tidak diindahkan maka Allah
bisa berkehendak kepada siapapun yang tidak mau bersyukur.
Penulis : Usman Cut Raja