MERDEKABICARA.COM | JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang membuat aturan baru terkait harga beli dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (EBT) yang akan menggunakan skema feed in tariff untuk formula harga yang baru. Aturan ini dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang saat ini sudah diproses oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa berdasar skema feed in tarif kali ini harga akan dibedakan berdasarkan jenis sumber EBT-nya, karena setiap EBT memiliki perbedaan biaya dan teknologi. “Contohnya geothermal, lain dengan solar panel, lain dengan biomassa, dengan hydro. Kalau geothermal kan mirip-mirip migas, mengebor dan survei,” jelas Arifin di Jakarta, Jumat lalu (27/12).
Lebih lanjut Menteri ESDM memastikan, kebijakan baru ini bertujuan agar ramah investor serta tidak merugikan investor. Dengan skema yang baru ini diharapkan pembangunan pembangkit EBT tetap berjalan. “Kan kemaren feed in tarif diberlakukan untuk semuanya, sehingga tidak jalan. Yang costnya mahal, masa mau dijual murah, malah rugi,” ungkap Arifin.
Selain itu saat ini sedang digodok bahwa masa berlakunya nanti akan disesuaikan dengan depresiasi cost yang akan terus menurun sehingga beban PLN tidak terlalu berat. “Supaya ke depan beban PLN tidak terlalu berat, jangan dipukul rata semua, padahal biayanya sudah turun, kan ada depresiasi,” jelas Arifin.
Kebijakan baru ini akan menggantikan formula harga pembangkit listrik EBT saat ini dihitung berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan PLN seperti tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 50 Tahun 2017. Formula baru ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencapai pemanfaatan EBT sebesar 23 persen di dalam bauran energi (energy mix) di tahun 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).