MERDEKABICARA.COM | BOGOR — Kepala Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Kementerian Pertanian (Kementan) Suhandi mengatakan, budi daya lidah buaya meraup omzet Rp 500 juta setahun melalui pemasaran secara konvensional. Dari budi daya tersebut, Indonesia belum mampu mengekspor produk lidah buaya sebab habis terserap di tingkat domestik.
“Kalau dikelola secara online (daring), barangkali omzetnya bisa lebih drastis meningkat,” kata Suhandi kepada wartawan, di Cinagara, Kabupaten Bogor, Selasa (12/3).
Menurutnya, produk lidah buaya baik dari pelepah atau produk olahannya cukup diminati pasar. Kendati demikian, masih banyak petani khususnya kalangan milenial belum banyak melirik peluang bisnis lidah buaya. Padahal, dia menjelaskan, selera konsumen cukup tinggi melirik khasiat lidah buaya.
Dia menambahkan, produk olahan lidah buaya dapat berupa pil dan teh lidah buaya yang kerap dibeli konsumen untuk keperluan kesehatan dan kecantikan rambut. Untuk kesehatan misalnya, lidah buaya dapat diolah menjadi obat untuk berbagai macam penyakit seperti maag kronis, diabetes, panas dalam, dan penambah antioksidan.
“Karena khasiatnya yang luar biasa ini, konsumen jadi tertarik,” katanya.
Dia menjelaskan, untuk meningkatkan minat petani milenial melirik bisnis lidah buaya, pihaknya melalui P4S siap memberikan pelatihan serta pendampingan tani secara komprehensif. Mulai dari manajemen kelompok tani hingga strategi pemasaran berjejaring. Dia menuturkan, P4S sering menerima kunjungan petani dari beragam negara, salah satunya Jepang.
Dengan adanya program kelompok tani milenial dengan target 4.000 kelompok tani di tahun ini, dia berharap petani milenial mampu memanfaatkan teknologi informasi digital guna memasarkan produk lidah buaya secara lebih luas.
Suhandi menuturkan, hasil pelepah lidah buaya mencapai 2,4 ton per bulan dengan harga jual mencapai Rp 6.000 per pelepah. Sementata hasil produk olahan seperri pil lidah buaya meraup omzet Rp 25 juta per bulan.
Sumber : Republika.co.id