MERDEKABICARA.COM | ACEH UTARA – Sejak zaman kerajaan, Aceh sudah dikenal dengan beraneka ragam
hayati dan sumber daya alam bahkan kolonial Belanda dengan berbagai
upaya, Aceh harus bisa ditaklukkan yang tujuan utamanya hasil bumi
Aceh yang melimpah dan bermutu tinggi bisa mareka olah dan kuasai.
Saat Belanda berhasil menjajah Aceh pembangunan sarana angkutan baik laut maupun darat yang diutamakan bagi memudahkan semua hasil Aceh diangkut kenegaranya. Sarana darat yang dibangun adalah jalur rel kereta api sementara laut pelabuhan.
Untuk pelabuhan dipilih Sabang, Belanda menamakan Kolen Station (Stasion Persinggahan) hingga ditingkatkan menjadi frij haven
(pelabuhan bebas) karena sudah terkenal keberbagai penjuru dunia. Lalu
bagaimana kondisi Sabang setelah 80 tahun ditinggalkan Belanda.
Pemerintah Aceh kala itu sepertinya tidak berdaya untuk bisa
mengembangkan bahkan harus tutup.
Padahal ketika itu persaingan usaha sektor hasil bumi dan pertanian mulai dari hulu hingga hilir begitu bergelora. Namun apa yang terlihat saat ini terutama bagi pelaku usaha agrobisnis berskala menengah dan besar di Aceh masih sangat minim. Belum ada generasi pengusaha Aceh yang mampu mengembangkan potensi alam yang terkandung di bumi Aceh.
Diketahui pula, peluang produk hasil bumi dan pertanian Aceh memasuki pasar internasional sangat besar. Produk primer perkebunan Aceh, seperti pala, kelapa sawit, karet, kakao dan kopi, sudah menembus pasar dunia. Namun sangat disayangkan semua jenis produk pertanian Aceh di ekspor melalui Medan dengan demikian bukan lagi hasil Aceh tapi menjadi hasil Medan.
Selain perkebunan, potensi Aceh juga relatif besar di subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perikanan. Akan tetapi, di subsektor-subsektor tersebut belum banyak pengusaha besar yang berminat mengembangkan investasinya di Aceh. Pengusaha lokal cuma mampu bermain dibidang perdagangan produk luar atau mengharapkan proyek dari pemerintah.
Dalam hal ini alangkah baiknya bila Pemda Aceh memberdayakan
pengusaha lokal dahulu baru berharap pada investor luar. Karena penyebab utama pengusaha lokal enggan berinvestasi pada sektor pertanian karena belum ada dukungan yang optimal dari perbankan.
Pengembangan agrobisnis di Aceh bukan hanya butuh dukungan
perbankan, tetapi juga infrastruktur dasar, seperti jalan, irigasi, listrik dan kemudahan berinvestasi selain insentif pemerintah dan dorongan kebijakan makro. Perlu disadari bahwa sektor pertanian mampu menjadi sektor pembangunan fundamental ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja guna meningkatkan daya beli untuk memperkuat sektor riil.
Fakta menunjukkan mayoritas masyarakat Aceh hidup dengan bertani.
Pemerintah daerah belum fokus ke arah itu padahal anggaran sudah triliunan rupiah yang diterima. Bila misalnya anggaran yang begitu besar lebih terfokus kepada pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengembangan sektor pertanian serta perikanan, Aceh tidak merana
seperti sekarang.
Selain itu masih banyak potensi pertanian yang belum digarap secara optimal. Padahal, pertanian bisa menjadi tulang punggung
perekonomian Aceh. Lebih dari sekedar masalah menanam, pertanian juga
memiliki banyak potensi yang didalamnya saling bersinergi, seperti
industri pupuk, benih dan industri pengangkutan.
Dalam suasana pertumbuhan ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian ini, Pemerintah Aceh perlu menenciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis pada sumber daya alam. Selain itu, juga diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.
Terakhir yang harus diingat, satu-satunya yang membuat optimisme
Aceh untuk tidak lagi mengalami keterpurukan ekonomi dalam menurunkan angka kemiskinan adalah kekayaan sumber daya alam, khususnya
sumberdaya hayati. Apabila kita dapat memanfaatkan sumber daya alam
dengan baik, tidak mustahil Aceh dapat mewujudkan masyarakat mandiri
dan sejahtera. Maka, sektor pertanian layak dikembangkan untuk
memberikan pertumbuhan ekonomi Aceh tambah meningkat.
Namun semua ini diperlukan SDM yang handal baik legislatif maupun eksekutif. Ada baiknya karena kita di Aceh belum banyak yang mampu mengolah dan penelitian akibat keterbatasan SDM, tidak haram bila coba menjalin kerjasama dengan daerah lain atau luar negeri. Indistri pertanian dan sector lain membutuhkan pakar ahli. Karenanya masyarakat kampus harus dilibatkan. Hom Hai.
Penulis : Usman Cut Raja