MERDEKABICARA.COM | Teman teman dimasa kecil, memanggil namanya dengan nama Yanto, namun nama lengkapnya Supriyanto Tarah, lahir disebuah kota kecil di Bojonegoro, Jawa Timur.
Di Aceh khususnya, namanya lebih dikenal sebagai “Yanto Tarah”, dibandingkan dengan nama panjangnya Supriyanto Tarah.
Nama Yanto Tarah ” lahir” di Bireuen, ketika dilantik sebagai Kepala Polisi Resort (Kapolres) kabupaten Bireuen pada saat konflik, persiapan perdamaian, saat perdamaian dan pasca perdamaian MoU Helsinki, antara tahun 2005 sampai dengan 2007.
Pada masanya ditugaskan sebagai Kapolres Bireuen, saat konflik berkepanjangan di Aceh. Kawasan Bireuen merupakan salah satu daerah yang masuk dalam kategori “hitam pekat”.
Dalam era konflik bersenjata, tanda “hitam pekat” ditapalkan sebagai daerah sangat rawan. Kontak tembak antara GAM dengan aparat keamanan TNI-Polri sering terjadi, baik siang maupun malam. Gangguan, teror dan kriminalitas hampir rutin setiap minggu dilaporkan ada dan terjadi di sejumlah tempat dengan aklerasi sangat tinggi .
Dengan situasi seperti ini, sosok AKBP Yanto Tarah harus bekerja secara ekstra keras dan hati hati, apalagi saat itu tugas pertamanya di Aceh. Tugasnya lebih berat dibanding dengan tugas Kapolres lain di luar propinsi Aceh.
Dalam penanganan kasus keamanan dan ketertiban umumnya misalnya, polisi harus memastikan antara kasus kriminalitas murni dengan kasus kriminalitas politik. Jika salah penanganan, kasus kriminal murni dapat dipolitisir sehingga menjadi kasus kriminal politik. Demikian juga sebaliknya dan dampaknya akan menjadi konsumsi nasional maupun internasional.
Kasus pembunuhan suami istri di Kawasan Pulo Nalueng, Kecamatan Peusangan menjadi contoh kasus yang perlu hati hati dalam penanganan . Terjadi saat pasca perdamaian Aceh, mengingat Aceh saat itu masih dipantau oleh AMM (Aceh Monitoring Mission) dari perwakilan 20 negara Uni Eropa dan Asean.
Setelah kejadian, dilakukan pemeriksaa beberapa saksi dan calon tersangka. Polisi berkeyakinan pembunuhan itu dilakukan secara berencana. Motifnya, karena sakit hati. Pasangan suami istri ditebas pada tengah malam, ketika jalan pulang usai melayat di rumah keluarga korban di desa tetangga. Korban dan pelaku saling kenal dan merupakan penduduk desa yang sama.
Ketika hendak dilakukan penangkapan oleh Polisi, muncul provokasi kepada warga agar mendatangi kantor polisi dan menghalangi penangkapan dengan dalih akan terjadi kasus serupa kembali didesa tersebut.
Disisi lain situasi tersebut dikaitkan dengan adanya pihak pihak yang mengaitkan pembunuhan itu dengan ” kasus pulau Nalueng” saat konflik sebelum perdamaian Aceh.
Kejadian Pulo Nalueng Adalah pengepungan “bunker gam ” di rerumpun bambu yang dijadikan tempat persembunyian ditengah-tengah tegalan/pematang sawah. Pengepungan dilakukan beberapa hari melibatkan pasukan Satgaspur TNI di Bireuen dengan bersenjata lengkap. Berlangsung beberapa hari karena beberapa anggota GAM berada ditengah tengah rumpun bambu.
Uniknya, ide membongkar “bungker Gam” dirumpun bambu tersebut muncul dari Yanto Tarah dengan menggunakan excavator yang disampaikan kepada Dansatgaspur TNI saat itu, Kolonel Inf. Syukron Hambali di medan kontak tembak terjadi. Excavator saat itu milik H. Syaifanur (alm) sebagai salah satu kontraktor di Bireuen.
Saat itu Yanto tarah tampil kembali memimpin langsung pembongkaran “bungker Gam” dengan tidak tanggung tanggung menaiki dan ikut bersama operator berada diatas alat berat excavator untuk mengarahkan celah mana bungker yang perlu di bongkar terlebih dahulu.
Ada rasa kagum dan konyol pada usaha pembogkaran bunker itu. Penulis merasa kagum atas keberanian Yanto Tarah berada dilini terdepan. Namun tindakan bisa dianggap konyol Kapolres ini tidak menggunakan rompi dan helm anti peluru pelindung diri ketika berada diatas excavator tersebut. Rompi dan helm justru dipakaikan kepada operator excavator. Yanto Tarah tak peduli walaupun banyak anggota dan bawahannya dari TNI-Polri yang berteriak mengingatkan dirinnya untuk memakai rompi. Yanto Tarah menunjukan “nyalinya” yang luar biasa saat itu, untuk Aceh. Usahanya tidak sia sia karena bunker berhasil dibongkar.
Harus diakui, Perwira menengah yang satu ini sangat berbeda. Di lapangan, para jurnalis selalu bertemu dengan dirinya ketika ada peristiwa kontak tembak. Ketika konflik Aceh masih berlangsung, kontak tembak kerap terjadi, baik malam atau siang. Dalam setiap peristiwa, kami ( para wartawan ) selalu melihat Yanto Tarah berada di lokasi kontak tembak, tanpa rompi pengaman diri. Yanto Tarah menyerahkan segalanya , termasuk nyawa, kepada Allah swt.
Hampir sama dengan kasus pengepungan ditempat lain, pengepungan Pulo Nalueng ini berdampak kepada warga. Warga ketakutan akan kondisi yang berkembang saat itu. Tidak ada aktivitas ekonomi dan pendidikan yang berjalan karena semua harus tinggal di rumah dengan tingkat ketakutan tinggi.
Nah, kejadian pembunuhan suami istri ini dikaitkan dengan isue kasus Pulo Nalueng ( terjadi saat konflik ), dengan dalih yang berkembanng ditengah masyarakat Pulo Nalueng, bahwa kasus pembunuhan itu adalah balas dendam atas pengepungan bunker GAM sehingga beberapa GAM tewas tertembak. Pengalihan isu tersebut membuat proses penanganan sementara waktu tersendat, namun pada akhirnya terungkap.
Saat pasca perdamaian setiap isue yang diangkat oleh warga masyarakat akan menjadi hal yang sensitif bagi pemantau AMM di Aceh, sehingga perlu kepiawaian tersendiri untuk mengelolanya, agar tidak berdampak pada proses membangun saling percaya antara GAM dengan RI.
Kondisi awal pasca perdamaian Aceh tahun 2005 adalah satu sisi, hukum harus tetap berjalan pada sisi yang lain. Keputusan yang diambil juga harus seiring dan harus mendukung proses perdamaian Aceh.
Sebagai Kapolres Bireuen saat itu, keputusan tepat yanto Tarah memilih bahwa proses damai lebih mendesak untuk dikawal secara inten, dibandingkan dengan penangkapan pelaku kriminalitas tersebut. Tentunya saja dirinya pertimbangan hal lain, yaitu keselamatan dan keamanan warga masyarakat saat itu.
Yanto Tarah saat itu lebih memilih untuk mengulur waktu dan sambil terus memperbanyak saksi dan bukti pendukug lain. Jajaranya terus melakukan penyidikan dengan memeriksa sumber informasi tambahan dan tetap memantau calon tersangka lainya.
Setelah bukti bukti lengkap, Yanto Tarah memanggil pimpinan desa, tokoh masyarakat tempat asal pelaku dan korban. Beberapa keluarga pelaku dipanggil untuk diberitahukan hasil kerja polisi, termasuk melakukan komunikasi dengan panglima wilayah GAM Batee Iliek, Darwis Jeunieb. Yanto juga menemui beberapa panglima daerahnya lain. yang kadang kala dilakukan seorang diri. Yanto Tarah berdialog dan mengkomunikasikan apa yang sebenarnya telah terjadi dan apa yang akan dilakukan polisi.
Disini, Yanto Tarah menunjuk kesabaran diatas rata rata pimpinan polri di daerah, menunjukan nyali menghadapi petinggi petinggi GAM wilayah Batee ileik, pendekatan merakyat atau ”low profile”, karena sebagai Kapolres, tak perlu harus punya sabar dan senekat sebesar itu.
Namun, itulah salah satu ujian yang mampu dilewati dengan bijak. Hingga saat ini, nama Yanto Tarah sangat akrab ditengah tengah masyarakat dan sangat dihormati oleh warga Bireuen sebagai seorang bapak, sahabat dan kawan. Kelak, Yanto Tarah diangkat sebagai warga kehormatan kabupaten Bireuen.
Selain mampu berkomunikasi dengan pihak luar secara baik terutama pemantau AMM, seorang Yanto Tarah juga taktis dalam menjaga mental dan semangat bawahan atas tekanan tekanan dilapangan pada awal awal pasca perdamaian Aceh, yang ditadangai pada tanggal 15 Agustus 2005.
“Untuk sementara biarlah mantan mantan Kombatan GAM yang berkendaraan tanpa gunakan helm atau surat ijin mengemudi. Jangan lakukan penyetopan atau razia kendaraan dulu. Beri waktu mereka mengalami masa awal perdamaian Aceh.Mereka saudara kita, juga warga Bireuen. Berikan himbau untuk tertib berlalu lintas. Biarkan saja karena kita sebagai manusia dan sebagai polisi juga mengalami banyak kekurangan” Dalam situasi normal, itulah adalah perintah tak normal yang dikenal dikepolisian dengan istilah diskresi, yaitu perintah itu menjadi normal karena terjadi pasca MoU Helsinki ditandatangani. Satu tindakan kecil, bisa berdampak besar kepada proses re-intergrasi GAM dengan RI saat itu dan proses re-intergrasi itu yang sangat diharapkan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.
Satu sepeda motor tak memakai plat nomor polisi ditangkap, bisa ratusan sepeda motor tanpa kelengkapan yang akan datang ke markas polisi.
Seorang Yanto Tarah sebagai Kapolres Bireuen dari awal perdamaian Aceh, nampaknya sudah cukup memahami makna perdamian Aceh melalui MoU Helsinki, perjanjian antara Pemerintah RI dengan GAM. Hal ini terbukti dengan sikap beliau untuk tidak terpengaruh oleh provokasi massa. Bahkan tetap diam ketika ada warga mantan GAM yang mengangkat kaki kepada diri sebagai “sikap hormat”, atau tidak mau bersalaman ketika diajak bersalaman dan melihat tingkah yang kurang sopan.
Ketika itu, nama Yanto Tarah, malah semakin banyak disebut sebut oleh mantan Kombatan GAM, yaitu setelah beliau membantu kelancaran membuat SIM (surat ijin mengemudi) dan KTP (kartu tanda penduduk) bagi mantan kombatan . Itu menjadi kejadian pertama di Aceh saat itu serta salah satu implementasi dari perdamaian Aceh di Kabupaten Bireuen.
Setiap mantan kombatanGAM di Bireuen, ketika bercerita tentang sosok Kapolres Bireuen, maka mereka akan langsung menyebut nama Yanto Tarah dengan senyuman. Senyum antara rasa pernah dibantu dengan rasa simpatik terhadap sosok kapolres yang sangat dekat dengan warga Bireuen. Karena dulu saat konflik mereka sering mendengar suaranya dalam menghimbau dan mengajak untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di Bireuen melalui siaran radio swasta di Bireuen, Yaitu “Radio Getsu” dalam acara “halo polisi” setiap jam 22.00 wib sd 23.00 wib pada hari kamis malam. Mantan kombatan lain mengisahkan bahwa kapolres Bireuen ini pasca ditanda tangani Mou Helsinki bulan agustus 2005 belum genap satu bulan sudah membuat gebrakan melakuan pertandingan olahraga bola volly antara mantan kombatan gam dengan anggota polres Bireuen dilanjutkan pertemuan pertemua dengan panglima panglima dan mantan kombatan GAM Wilayah Batee ileik.
Berkomunikasi, silaturahmi dan bersahabat adalah salah kekuatan dan kelebihan yang dimiliki oleh pria kelahiran Bojonegoro – Jawa Timur ini. Dia menghormati persahabatan dan memuliakan pertemanan. Mungkin, karena itu dia bisa menjalin hubungan baik dengan siapa pun di segala lapisan masyarakat Aceh, termasuk dengan eks panglima dan kombatan GAM serta para petinggi GAM di Aceh maupun di swedia.
Sisi lain, dalam mengisi dan menggerakan pembangunan masyarakat Bireuen saat itu baik saat konflik maupun pasca perdamaian, sosok Yanto Tarah mengisi kegiatan masyarakat dengan swadaya membuat acara mempersatukan masyarakat seperti kejuaraan tinju, lomba lari Bireuen10 K, festival budaya dan kesenian Aceh, festival musik, pertandingan olahraga, motocross, grastrack, membersihkan jalan sudut sudut kota juang (Koju), hiburan dari artis ibukota dan banyak lagi kegiatan lain. Yanto Tarah penggagas lahirnya ”Juangmania” untuk suporter PSBB (persatuan Sepak Bola Bireuen) yang saat itu masuk klasemen Devisi Utama liga sepakbola indonesia.
Secara rutin, pada malam terakhir tahun, hari besar islam dan Hut Kabupaten Bireuen, AKBP Yanto Tarah berbaur dengan warga kabupaten Bireuen . Tanpa atribut polisi, dia hilir mudik ditengah ribuan warga yang menonton pesta kembang api yang merupakan tontonan langsung pertama bagi masyarakat Bireuen, hal itu membuat Yanto bergembira dan menikmatinya kebersamaan. Yanto Bebas. Yanto bebas berada dekat mesiu kembang api yang sedang terbakar. Yanto bebas berada bersama anak anak. Yanto bebas tersenyum lebar bersama anggota dan jajarannya serta Yanto yang bebas bersama warga Bireuen yang dicintainya. Tagline “Loen sayang Aceh”, merupakan kalimat yang paling disukai oleh Yanto terpampang di spanduk sudut sudut strategis kota.
Ada yang menyebutkan, hingga saat ini setiap perayaan hari besar islam Pesta kembang api itu sebagai hadiah dari “ Yanto Tarah, Kapolres Bireuen” yang terus dibicarakan di sudut2 kedai di kota juang (Koju). Tentunya saja sepak terjang Yanto Tarah yang membuat Kabupaten Bireuen yang saat Konflik Aceh merupakan daerah “hitam pekat” dan saat pasca perdamaian, Bireuen menjadi daerah paling aman di Aceh, terbukti dengan adanya kunjungan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyona ke Bireuen untuk meresmikan Sekolah Sukma.
Kiprah dan kinerja menjaga dan melihara daerah konflik, saat persiapan perdamaian, pada saat perdamaian, pasca perdamaian dan kedekatan dengan para petinggi/panglimaGAM di Bireuen yang tidak mudah dilakukan oleh aparat keamanan. Pastiya, tidak ada cacatan terekam di Mabes Polri bahwa nama Yanto Tarah sebagai kepala polisi resort Biruen. Yang ada adalah nama AKBP Supriyanto Tarah, yang kini berpangkat Brigadir Jendral Polisi.
Malam akhir tahun 2005 adalah tontonan kembang Api terbesar yang pernah ada di kota Bireuen, ibukota kabupaten Bireuen dan menjadi Yanto Tarah sebagai salah satu sosok yang selalu di ingat dan diperbincangkan saat ngopi di kedai kedai di “Kota Juanng (koju). Para jurnalis pun sangat dekat dengan sosok polisi yang satu ini. Totalitas dalam pengabdian sebagai Kapolres Bireuen, Yanto Tarah juga memboyong istri dan anaknya untuk menetap di Bireuen.
Kiprahnya untuk menciptakan perdamaian Aceh di Bireuen luar biasa, hal ini terbukti dari data dan catatan yang ada. Yanto Tarah berhasil menjadikan kabupaten Biruen menjadi daerah pengumpulan senjata untuk dipotong oleh AMM terbanyak diatas rata rata daerah lain.
Disisi penegakan Qanun atau Perda Syariat Islam, Yanto Tarah menuangkan ide, menciptakan tatacara hukuman cambuk pertama di Aceh dan Indonesia.
Dalam memberantas narkobanya, Yanto Tarah berhasil menemukan ladang ganja seluas 148 hektar. Kegiatan kegiatan tersebut dan kegiatan lain yang menjadikan Bireuen sebagai kabupaten yang paling aman saat itu.
Jika pun semua kiprah dan pengabdian Suprianto Tarah di Bireuen dianggap sebuah hadiah dari “kapolres Yanto Tarah”, maka hadiah itu adalah hadiah kebahagiaan bersama dan secara bersama sama, karena Yanto juga ikut didalamnya.
Penulis : Nasier Husen
Editor : Arif