MERDEKABICARA.COM | LHOKSEUMAWE – Merebaknya pemberitaan mengenai kasus dugaan proyek fiktif pembangunan tanggul pantai Cunda sampai ke Meuraxa yang dikerjakan dari tahun 2019 hingga 2020 yang menghabiskan keuangan negara sebesar Rp46,3 miliar mendapat sorotan dari publik.
Pihak Kejaksaan Negeri Lhokseumawe hingga kini masih terus melakukan proses penyelidikan untuk pengumpulan bahan dan keterangan.
Menangapi hal tersebut, Alfian Husen, Koordinator Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) kepada media, Jum’at (22/01/2021) mengatakan, pihaknya ada menemukan surat perintah membayar (SPM), dimana pihak Pemerintah Kota Lhokseumawe mengeluarkan SPM kepada pihak rekanan.
Pihaknya juga telah melakukan investigasi ke lapangan karena kita juga telah melakukan track soal pembangunan tanggul pengamanan pantai dari Cunda sampai ke Meuraxa sejak tahun 2013 hingga tahun 2020, jelas Alfian.
Alfian menerangkan, hingga hari ini, anggaran yang telah dikucurkan ke pembangunan proyek tanggul tersebut berjumlah Rp 46,3 Milyar yang dilakukan secara bertahap setiap tahunnya.
Setelah kita lakukan verifikasi di lapangan, karena pihaknya meragukan barangnya mana di lapangan, dan lokasi proyek tersebut tidak mudah untuk di temukan karena memang lokasi tersebut tidak mudah untuk di ketahui oleh publik, ujarnya.
Alfian juga mengatakan, pihaknya juga bertemu dengan perangkat desa setempat juga kepala dusunnya serta warga setempat dan menanyakan apakah ada pembangunan tanggul tersebut ada atau tidak.
Alfian mengungkapkan, masyarakat setempat juga aparat desa mengatakan bahwasanya pada tahun 2020 tidak ada lanjutan pembangunan proyek tanggul tersebut tetapi pada tahun 2019 ada.
Alfian menjelaskan, pihak pemko melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lhokseumawe sendiri telah mengklarifikasi bahwasanya ada proyek pembangunan tanggul pada tahun 2020, akan tetapi pihaknya menanyakan barangnya mana.
Selanjutnya kita melihat adanya volume pekerjaan yang dihitung dari tahun 2019 dan di klaim akan di bayar pekerjaan pembangunan tersebut pada tahun 2020, katanya.
Alfian juga menanyakan masalah bagaimana mekanisme proses tendernya karena pembangunan 2019 di bayar pada tahun 2020
“Kita melihat ada indikasi ke sana, di mana proyek pembangunan tanggul tersebut dikerjakan pada tahun 2019 tetapi dapat di klaim kembali pada alokasi anggaran bayar tahun 2020”.
Pihaknya juga melihat adanya proses tender proyek tanggul tersebut di LPSE dan juga rekanannya siapa, kita telah mengecek juga, dan ini potensi dalam tindak pidana korupsi adalah modus baru yang pihaknya temukan, ujar Alfian.
Alfian juga mengatakan, jadi secara pekerjaan di lapangan, memang pekerjaan pembangunan mencapai dari yang di targetkan, tetapi pada tahun 2020 jelas tidak ada pembangunan.
Pihaknya juga mendukung penuh langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh kejaksaan dan berharap kepada Kejaksaan tidak hanya posisi mengungkap kasus ini untuk mengembalikan keuangan negara dan kita juga telah berkoordinasi dengan BPKP supaya kasus ini di audit.
“Alhamdulillah, BPKP telah merespon dan mereka menunggu dari hasil permintaan penyidik nantinya”.
Alfian juga memaparkan, pengalaman selama ini Kejaksaan trendnya bahwa ketika pengungkapan kasus setelah pengembalian uang negara biasanya kasusnya di stop, tetapi dalam hal ini pihaknya tidak menginginkan itu, karena ada UU tindak pidana korupsi bahwa pengembalian keuangan negara tidak menghapus pidana.
“Kita berharap kasus ini harus clear dan pengungkapannya harus secara utuh”, terang Alfian.
Alfian mengungkapkan, bahwa temuan ini baru pertama untuk kota Lhokseumawe dan tidak menutup kemungkinan ada pola – pola lain yang terjadi karena pihaknya melihat modus yang dilakukan, dimana proyek dikerjakan 2019.
“Menariknya modus yang di lakukan adalah pekerjaan 2019, klaim anggaran pada alokasi tender pada 2020 dan itu merupakan skenario besar untuk bisa mengambil dana”.
Alfian juga menambahkan, Ini sebenarnya untuk mempercepat proses penarikan uang secara cepat, kenapa tidak misalnya dikerjakan pertahun saja.
Dan yang terpenting kita juga bisa melihat seberapa efektifkah pembangunan tersebut, karena telah menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 46,3 miliar sejak tahun 2013 hingga 2020 dan manfaat pembangunan tanggul selama ini apa, terangnya.
Pihaknya juga telah meminta kepada pihak Kejaksaan untuk melihat juga secara manfaat, karena setelah pihaknya mewancarai atau berbicara dengan perangkat desa, sejauh mana ancaman bila tanggul tersebut tidak di bangun sejauh mana menjadi ancaman.
Alfian juga menjelaskan, ada modus baru korupsi sekarang yaitu pembangunannya di bangun tetapi ini semua tidak ada manfaatnya sama sekali artinya bukan menjadi skala prioritas dan sebenarnya ada alokasi anggaran pada sektor lain yang lebih penting, kenapa ini di paksakan karena potensi sektor barang dan jasa kita ketahui komitmen fee nya lebih besar di bandingkan sektor lain, pungkasnya. {Red}