MERDEKABICARA.COM | ACEH UTARA –
Batu bata tradisional masih menjadi material utama pembangunan gedung, perkantoran dan properti lainnya di Aceh. Meskipun dewasa ini sudah ditemukan inovasi bahan pengganti batu bata dalam membuat bangunan, tetapi sebagian besar masyarakat Aceh masih tetap menggunakan batu bata yang justru pembuatannya melalui teknologi tradisional.
Terhadap industri batu bata di Aceh, Aceh Utara masih merupakan sentra industri pembuatan batu bata terbesar dan sudah dikenal hingga ke luar Aceh. Hal ini disampaikan Geuchik Gampong Ulee Pulo, Mawardi Syahdan saat ditemui Media ini di sebuah kilang pembuatan batu bata Gampong Ulee Pulo, Kecamatan Dewantara, belum lama ini.
Mawardi menceritakan tentang industri batu bata di gampong Ulee Pulo, yaitu sudah semenjak proyek proyek industri raksasa dibangun di Lhokseumawe dan Aceh Utara tahun 1975. “Hadirnya industri industri tersebut telah membuka peluang banyak penduduk disini untuk membangun industri batu bata, apalagi mendapat keuntungan besar”, tuturnya. .
Dijelaskan, meskipun kalangan proyek proyek vital ketika itu coba menciptakan sendiri batu bata yang terbuat dari semen tetapi sebagian besar masyarakat lainnya tetap fanatik menggunakan batu bata dari tanah yang pembuatannya melalui teknologi tradisional.
“Didukung lahan tanah yang mempunyai tekstur sangat liat dan tidak terlalu banyak mengandung pasir adalah menjadi pilihan, batu bata yang dihasilkan bermutu tinggi. Selain itu semua industri batu bata disini rata rata lebih dekat dengan sumber air menjadi lebih membantu dalam proses pembuatan”, papar Mawardi.
Menurutnya, kondisi tanah dan sumber air yang dimiliiki itulah yang telah membawa kawasan ini menjadi sentra industri batu bata terbesar dan terkenal. Begitu juga terhadap lokasi usaha yang mudah terjangkau transportasi karena dekat dengan jalan negara, hingga kepada pembuatan, tempat untuk pencetakan, penjemuran, pembakaran dan penampungan batu bata lebih siap dan mudah dipasarkan.
Dijelaskan pula, tanah di Kecamatan Dewantara merupakan tanah berkualitas tinggi dan tingkat kekuatan terjamin untuk batu bata. Namun karena banyak pemilik “Dapu Bata” terbatas lahan tanah kebanyakan dari mareka harus membeli tanah atau menyewa. “Warga Ulee Pulo sudah memulai usaha pembuatan batu bata ini sudah lebih 70 tahun yang merupakan usaha turun temurun yang terkadang tanpa modal,“ papar Mawardi.
Bahkan dari hasil ciptaan kakek nenek nenek gampong Ulee Pulo industri batu bata kini telah menjamur ke berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Dikatakan, usaha yang banyak liku liku yang harus dilakukan ini, mulai masalah tanah, ongkos injak, ongkos cetak, jemur, naik turun truk, beli kayu bakar hingga biaya perawatan. “Proses pembuatan hingga pemasaran terkadang lebih satu bulan” urai Mawardi.
Lebih lanjut Mawadi menjelaskan, belakangan ini hampir semua pemilik dapu bata mengandalkan modal melalui pinjaman Bank. “Bila lancar pemasaran tidak terhambat pengembalian. Namun bila macet, macet pula pengembalian, inilah resiko yang banyak dialami pemilik dapu bata disini,” ungkapnya.
Dan yang lebih mengharukan; pembuatan batu bata identik dengan pekerjaan kasar yang seharusnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun yang melakukan justru kaum perempuan. Sebagian besar pekerja industri batu bata adalah para ibu rumah tangga yang mencari penghasilan tambahan. “Bukan saja kaum ibu juga anak anak selepas sekolah atau mengaji ikut menjadi pekerja hingga gampong Ulee Pulo terbebas pengangguran
Kondisi ini mendorong BUMG Ulee Pulo melaksanakan program pemberdayaan kepada para pelaku industri kecil dan pekerja batu bata yang notabene didominasi kaum perempuan. Lebih mengharukan banyak kaum perempuan yang bekerja di industri batu bata yang memiki bayi atau anak kecil harus membawa ayunan dan menggantung di barak
Dalam kesempatan ini, Mawardi sangat berharap kepada Pemda Aceh dan BUMN yang beroperasi di Aceh untuk sedikit menaruh perhatian terhadap industri batu bata tradisional yang dikelola masyarakat gampong, dimohon ada penjamin dan penyandang modal. “Bila dengan mengandalkan pinjaman Bank banyak pemilik dapu bata terpaksa gulung tikar karena tidak mampu membayar bunga Bank yang tinggi,” keluh Mawardi.
Penulis : Usman Cut Raja